Dr Rina Yulianti SH MH, dosen FH dari Univ Trunojoyo Madura.
IMBCNEWS Jakarta | SekJen Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, D. Rina Yulianti, SH MH menilai Penolakan JR APHA dalam Perkara nomor 67/PUU-XXII/2024 oleh MK sore tadi, tidak akan memupuskan perjuangan akademisi yang tergabung dalam APHA Indonesia untuk Masyarakat Hukum Adat.
Perjuangan para akademisi yang tergabung dalam APHA, untuk perjuangkan hak dan kemakmuran serta kebahagiaan msyarakat adat akan terus digaungkan sepajang masa, sampai tujuan dari perjuangan itu terwujud, meskipun harus melawan para penguasa yang lalim terhadap hak-hak kaum adat, kata Rina Yulianti, Dosen FH dari Universitas Trunjoyo Madura, pada Selasa petang.
Ia diminta tanggapannya atas ditolaknya JR (uji materi) perkara No 67/PUU-XXII/2024 terkait Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dikusakan kepada advokat MK Dr. Victor Santoso Tandiasa.
Menurut Rina, meskipun dalam putusan tersebut MK menolak seluruh gugatan atas pembentukan kementerian baru urusan masyaraka adat, tetapi ada hal yang menarik dari pertimbangan hakim tersebut.
“Hakim menyatakan bahwa hal yang lebih penting saat ini bukan membentuk kementerian baru, tetapi segera untuk mengesahkan RUU MHA. Hal ini yang menjadi tantangan ke depan, karena upaya mendorong pengesahan RUU MHA yang telah menjadi mandat konstitusi belum juga dilaksanakan oleh pemerintah dan DPR,” katanya.
Prof. Dr. Laksanto Utomo, SH MH Ketua Umum APHA Indonesia
Dikatakan, berbagai aktifitas telah dilakukan APHA sejak terbentuk, bertujuan mendorong agar segera disahkan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA) tersebut, antara lain melalui forum ilmiah yang bekerja sama dengan MPR RI, Call for Paper yang merupakan ajang diseminasi para pakar hukum adat, sampai pada audiensi dengan Badan Legislatif DPR RI.
Judicial Review ini, kata Rina juga bagian dari mendorong RUU segera diundangkan apapun hasilnya, terbukti meskipun menolak dalam pertimbangannya majelis menyatakan pentingnya segera mengesahkan RUU MHA tersebut untuk menyelesaikan urusan masyarakat hukum adat yang belum terpenuhi hak-haknya.
“Saya mengajak semua pihak untuk dapat berimpati kepada masyarakat adat yang tanah huniannya kian hari terus digusur oleh pengusaha tambang dan sawit. Kalu ini dibiarkan, bangsa ini tidak hanya mencidrai dari para leluhur, tetapi juga melakukan perlawanan konstitusi secara terang-terangan.”
Sekali lagi APHA Indonesia tetap akan menjadi garda dalam rangka memperjuangkan dan mewujudkan hak-hak konstitusional MHA dengan cara-cara akademik.
Tidak lupa APHA Indonesia mengucapkan terimakasih pada kantor hukum VST yang diwakili Dr. Viktor Santoso Tandiasa untuk menjadi kuasa dalam pelaksanaan JR dalam perkara nomor 67/PUU-XXII/2024.
Sebelumnya Ketua APHA Prof. Dr. Laksanto, SH MH mengatakan, “Kesan saya MK ini ada rasa ketakutan kalau segera membahas uji materi yang diajukan APHA.
Saat Diskusi mendesak MK untuk berani membahas JR terhadap Pasal 5 ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, MK tidak akan cepat merespon karena akan berhadapan banyak pihak utamanya para konglomerat dan para pimpinan yang selama ini diindikasikan dekat dengan pengusaha tambang dan sawit.
Pasal 5 ayat 2 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara, antara lain memuat Urusan pemerintahan meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
Semua kelembagaan diwadahi dan diberikan tempat kementeriannya. Tetapi dalam hal kementerian urusan masyarakat adat, tidak dimasukkan pada hal di dalam Pasal 18 B UUD RI jelas hukum adat diakui. Artinya UU itu bertentangan dengan UUD RI 1945.
imbcnews/diolah/