Anwar Abbas*
Sebagai bangsa kita bangga melihat hasil pertandingan timnas sepak bola kita melawan tim Saudi Arabia dan Australia yang berkedudukan imbang yaitu 1-1 dengan Saudi dan 0-0 dengan Australia karena kedua tim yang dihadapi tersebut jelas bukanlah tim yang abal-abal sebab mereka sudah pernah masuk dan bertanding berkali-kali di piala dunia.
Arab Saudi misalnya sudah pernah tujuh kali lolos ke turnamen Piala Dunia FIFA yaitu pada tahun 1994 , 1998 , 2002 , 2006 , 2018 dan 2022. Begitu juga dengan Australia. Negara kanguru tersebut juga sudah pernah lolos ke putaran final Piala Dunia sebanyak empat kali yaitu tahun 2010 di Afrika Selatan, Piala Dunia 2014 di Brasil, Piala Dunia 2018 di Rusia, dan terakhir Piala Dunia 2022 di Qatar.
Tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa jumlah pemain naturalisasi dalam timnas kita sangat banyak dimana ketika bermain melawan Australia misalnya jumlah pemain keturunan ada sembilan orang sementara pemain dari non keturunan hanya ada dua orang. Kita tentu tidak menyalahkan hal ini karena kita juga ingin punya tim sepak bola yang berkelas dunia yang membanggakan bangsa.
Tapi bagaimana kira-kira hal ini direspons oleh para pemain asli atau yang dari non keturunan? Tentu mereka akan bersedih karena tidak bisa tampil membela negara yang mereka cintai sebab tersisih oleh para pemain naturalisasi yang direkrut oleh PSSI. Oleh karena itu ke depan sebaiknya strategi merekrut pemain keturunan ini sifatnya hanya sementara saja.
Untuk jangka menengah dan panjang tentu sebaiknya PSSI lebih mengutamakan para pemain non keturunan atau dari warga negara indonesia asli yang tidak punya double pasport karena para pemain naturalisasi tersebut rasa-rasanya seusai bermain mereka akan kembali melepas statusnya sebagai WNI dan kembali menjadi warga negaranya semula sebab mereka rasa-rasanya tidak akan mau melepaskan tunjangan sosial yang bagus yang telah disediakan oleh negaranya.
Di sinilah menariknya sikap dan pandangan Peter F. Gontha yang muncul di tengah-tengah kegembiraan yang sedang kita alami dimana beliau berpandangan bahwa membina para pemain kita dari muda (SD s/d Dewasa) adalah jauh lebih baik dari pada melakukan naturalisasi. Hal ini tentu sangat patut menjadi renungan kita bersama.
*Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan Wakil Ketua Umum MUI