IMBCNews, Jakarta | Jimly School of Law and Government (JLSG) ngabuburit kajian konstitusi atau Ngaji Konstitusi seri ke-72, Jumat 15 Maret 2024. JSLG kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, menampilkan Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH sebagai Key Note Speaker membedah tematik: “Urgensi Pembentukan Mahkamah Etika Nasional dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.
Selaku keynote speech, Prof Jimly mengingatkan kalau semua Undang-undang di Indonesia di dalamnya telah memberikan ruang bagi pengaturan kode etik.”Hanya saja, selama ini belum ada sistem berbentuk lembaga atau mahkamah etika nasional yang berfungsi sebagai tempat untuk mencari keadilan masalah etika,” kata Jimly.
Ia mencontohkan pada kasus etika Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ketika tahapan KPU terkait Pemilu 2024 membuka pendaftaran Capres/Cawapres. Saat itu Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyidang Hakim Konstitusi yang meloloskan terkait dengan usia capres/cawapres.
“Dalam hal tersebut, ada Hakim MK yang dijatuhi hukuman oleh MKMK yang hendak mencari keadilan etika. Jika ada Lembaga atau Mahkamah Etika Nasional, tentu saja bisa menjadi tempat cocok untuk mencari keadilan bagi mereka yang terkena sanksi etik di lembaganya,” sebut Jimly.
Lebih lanjut Jimly mengatakan, untuk pengawasan hakim selama ini berada pada tugas Komisi Yudisial (KY). Akan tetapi, dalam hal penanganan kasus-kasus etika bagi hakim agung dan hakim konstitusi di KY masih ada keterbatasan.
“Oleh karena itu, sudah saatnya untuk diperoses soal pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Saat sekarang inilah saat-saat yang saya pandang tepat untuk membuat Undang-undang berkaitan dengan pembentukan Mahkamah Etik Nasional,” tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2003–2008 tersebut.
Jimly mengaku, bahwa ia telah memperoleh dukungan dari berbagai pihak antara lain dari Mahkamah Kehormatan DPR, DPD serta MPR dan dari Mahkamah Militer. Dukungan juga berasal ahli hukum konstitusi dari berbagai perguruan tinggi.
“Dukungan-dukungan tersebut, mempunyai dasar kuat selain UUD RI 1945 juga ada Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001. Tap MPR ini masih berlaku. Ini, secara materi hukum bisa dikembangkan menjadi bahan dalam penegakan etika hukum dan etika dalam berbangsa dan bernegara,” sebutnya.
Jimly menambahkan, Mahkamah Etika Nasional dapat juga mengurangi beban hukum yang saat ini sudah makin menumpuk dan sesak. Misal, vonis hukum pidana yang berpolakan restributif (hukuman penjara) selain telah membuat penjara overload, namun juga belum optimal membuat pelaku kriminal jerah.
“Kadang kita temukan juga. Pertama kali seseorang dipenjara karena mencopet, keluar penjara malah jadi perampok. Yang tadinya tertangkap sebagai pengguna narkoba, sesudah keluar penjara malah jadi bandar narkoba. Beban seperti ini perlu kita dekati juga melalui pengadilan etikanya,” sebut Jimly.
Seraya Jimly menjelaskan, untuk persidangan etika sering disebut juga berpola pada restoratif. Dan putusan terberat restortif, biasanya berupa pemecatan.
“Boleh jadi, orang bersalah akibat melanggar etika akan lebih takut dan kemudian ia jerah karena dipecat. Oleh karena itu keperluan Mahkamah Etika Nasional juga akan mendinamisasi mengenai perlunya etika hukum di dalam ketata-negaraan,” katanya.
Nara sumber kajian konstitusi yang dilaksanakan JSLG-UNESS kali ini Binziad Kadafi, S.H., LL.M., Ph.D., mengemukakan, dalam pembentukan mahkamah etika tentu saja tidak akan terlepas dari cluster jabatan publik.
“Hal ini menjadi implikasi dari pembentukan lembaga negara, yang di dalamnya juga akan membahas serta menentukan tentang materi keetikaan,” kata ahli hukum yang kini anggota Komisi Yudisial RI ini.
Ia menambahkan, yang perlu juga menjadi perhatian adalah ketentuan-ketentuan formal pada keterisian Mahkamah Etika dimaksud. Selain itu diperlukan pula penyesuasian-penyesuaian antara lain seperti amandemen pasal 24 b ayat 1, tentang Komisi Yudisial dan pemaknaan baru untuk menjadi undang-undang. (asy: lpt-jslg/zo-1503)