IMBCNews – Jakarta – INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG), Selasa, 8 April 2025 dibuka anjlok sembilan persen hingga Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan “trading halt” atau pembekuan perdagangan saham sementara selama 30 menit , sementara kurs rupiah ke dollar AS tembus Rp17.000, terendah sepanjang sejarah dan lampaui rekor saat krismon 1998 .
Analis Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi mengatakan, tekanan yang terjadi pada IHSG hari ini sesuai dengan prediksi disebabkan lag of sentimen saat libur bursa Lebaran sehingga mengharuskan BEI melakukan pemberhentian sementara perdagangan atau trading halt.
“Maka sesuai ekspektasi kami terjadi adjustment di pasar dengan tekanan jual yang besar hingga terjadi trading halt atau kurang lebih 8 persen IHSG,” ungkap Audi kepada Kompas.com, Selasa (8/4).
Ia berpandangan, trading halt IHSG hari ini harus dilakukan untuk meredam derasnya aksi jual oleh pasar. “Jika ARB (Auto-Reject Bawah) tetap simetris maka kekhawatiran anjlok lebih dalam sangat terbuka.
Tetapi kami melihat ini akan lebih bersifat jangka pendek untuk meredam aktivitas pasar, karna pada dasarnya kekhawatiran ini ditimbulkan faktor ekonomi makro dan kebijakan tarif Trump,” sambung Audi.
Tekanan terhadap ISHG berlanjut
Audi juga memprediksi tekanan ke IHSG sepanjang hari ini, (8/4), masih akan terus berlanjut. “Estimasi kami IHSG mampu bertahan diatas level support psikologis 6.000 dengan asumsi ditopang perubahan ARB menjadi 15 persen untuk seluruh fraksi,” katanya.
Yang harus dilakukan pemerintah, Menurut Audi, mengambil langkah untuk meredam tekanan pasar. Caranya, dengan menjaga stabilitas rupiah terhadap dollar AS. Untuk menjaga nilai tukar rupiah, pemerintah harus meyakinkan pasar bahwa pertumbuhan ekonomi RI tetap di atas lima persen dengan cara menyiapkan strategi serta langkah praktis untuk menjaga surplus dagang Indonesia.
Namun pada saat bersamaan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga sedang menghadapi tekanan, bahkan sudah menembus level psikologis 17.000 per dollar AS, yang tertinggi sepanjang sejarah dan melampaui kurs saat krismon pada 1998.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra mengatakan, salah satu pemicu utama pelemahan rupiah adalah sentimen negatif dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.
Respon negatif dari negara-negara yang dikenakan tarif lebih tinggi semakin memperburuk sentimen pasar.
“Kekhawatiran pasar terhadap ekonomi global yang terancam penurunan akibat perang dagang memicu pelaku pasar untuk mengamankan aset dan beralih ke aset yang lebih aman,” ujar Ariston.
Selain itu, data tenaga kerja Nonfarm Payrolls AS yang lebih baik dari proyeksi turut menguatkan dollar AS terhadap berbagai mata uang, termasuk rupiah.
Perang dagang yang masih berlangsung dan meningkatnya ketegangan global juga menjadi faktor yang turut menambah sentimen negatif di pasar.
“Pekan ini, pasar merespons kejadian-kejadian pekan lalu selama libur Lebaran. Rupiah berpotensi melemah dan bisa menguji level 17.000,” tambah Ariston.
Sebelumnya, pengamat pasar uang Lukman Leong juga mengatakan bahwa rupiah diprediksi akan tertekan. “Sentimen risk-off sangat kuat di pasar, banyak mata uang emerging yang masih melemah,” kata Lukman.
Sentimen risk-off, diartikan sebagai kondisi ketika investor menghindari aset berisiko tinggi dan beralih ke aset aman. Ini dipicu oleh pernyataan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick yang memastikan kebijakan tarif tidak akan ditunda.
Sementara itu, perang dagang yang kian memanas dan kemungkinan Uni Eropa merespons dengan tindakan serupa menambah ketidakpastian.
Namun, mata uang utama seperti Yuan China (CHY), Yen Jepang (JPY), Euro (EUR), dan Poundsterling Inggris (GBP) justru menguat pagi ini.
Pada pukul 09.13 WIB, Senin (7/4), nilai tukar rupiah di pasar spot tercatat di level 16.920,5 per dollar AS, melemah 1,61 persen atau sekitar 268 poin dibandingkan penutupan sebelumnya.
Sebelumnya, rupiah sempat menembus level di atas 17.000 per dollar AS di pasar non-deliverable forward (NDF). NDF adalah kontrak derivatif valuta asing, di mana dua pihak setuju untuk menukar uang dengan kurs tertentu di masa depan.
Dalam jangka menengah dampak pengenaan tarif reciprocal (timbal balik) baru yang dikenakan terhadap puluhan negara eksporter ke AS termasuk Indonesia, bisa memicu resesi global.
Gelombang protes dilancarkan tak hanya di sejumlah hegara di dunia tetapai juga di dalam negeri karena penduduk AS juga akan membeli produk impor lebih mahal selain alasan HAM, banyak negara miskin yang terkena dampaknya, karena ekspor mereka menurun karena permintaan pasar juga anjlok. (imbcnews/Theo/sumber diolah; kompas.com)