BAGI suatu negara, kebanyakan jumlah penduduk menjadi masalah misalnya terkait penciptaan lapangan kerja, layanan kesehatan dan pendidikan, namun Jepang mengalami persoalan sebaliknya.
Data Kemendagri Jepang seperti dilaporkan The Japan Times (14/4) mencatat, total populasi penduduk di Negeri Sakura itu anjlok selama 14 tahun berturut turut, sementara persentase penduduk usia 65 ke atas mencapai rekor (29,3 persen).
Pendataan hingga Oktober 2024 itu mencakup penduduk Jepang dan asing adalah 123,8 juta jiwa, turun 550.000 atau 0,44 persen dari tahun sebelumnya. Populasi Jepang telah menurun dari tahun ke tahun sejak 2011 setelah mencapai puncaknya pada 2008.
Seiring bertambahnya jumlah warga lanjut usia, populasi yang lebih muda menurun, memperburuk masyarakat lanjut usia di negara itu.
Mereka yang berusia di bawah 15 tahun mencapai 11,2 persen dari total populasi sebesar 13,83 juta jiwa pada 2024, turun 343.000 dari tahun sebelumnya dan menandai angka terendah yang pernah ada.
Kelompok usia tersebut telah menurun sejak tahun 1975, sementara jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas meningkat sebanyak 17.000 menjadi 36,24 juta jiwa.
Jumlah bayi baru lahir di Jepang kembali mencetak rekor terendah. Hingga Oktober 2024, hanya dua prefektur, yaitu Tokyo dan Saitama, yang mengalami pertumbuhan penduduk dalam setahun terakhir.
Tokyo tertinggi.
Tokyo mencatat tingkat pertumbuhan tertinggi sebesar 0,66 persen, meningkat 0,32 persen dari tahun sebelumnya, sementara Saitama membalikkan tren penurunan sebelumnya, dengan kenaikan sebesar 0,01 persen.
Jumlah penduduk di 45 prefektur lainnya menurun. Delapan belas prefektur mengalami penurunan penduduk lebih dari 1 persen termasuk Akita (1,87 persen), Aomori (1,66 persen), dan Iwate (1,57 persen).
Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi mengatakan, pemerintah sedang menerapkan berbagai langkah untuk mengatasi masalah tersebut, seperti meningkatkan dukungan finansial untuk membesarkan anak, meningkatkan upah untuk generasi muda, dan menawarkan kesempatan perjodohan.
“Kami akan terus mempromosikan kebijakan secara kompetitif menuju terwujudnya masyarakat di mana setiap orang yang ingin memiliki anak dapat memiliki anak dan membesarkan mereka dengan tenang,” katanya.
Sedangkan jumlah bayi yang lahir kembali turun dan mencetak rekor terendah, yakni 720.988, pada 2024. Penurunan ini terjadi selama sembilan tahun berturut-turut.
Otoritas setempat juga menyebut tren penuaan yang cepat dan menyusutnya populasi masih terjadi di sana.
Angka kelahiran di Jepang turun lima persen pada 2024. Hal ini masih terjadi meski berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Fumio Kishida pada 2023.
“Di balik penurunan angka kelahiran di Jepang adalah lebih sedikitnya pernikahan dalam beberapa tahun terakhir, yang disebabkan oleh pandemi COVID-19,” kata Takumi Fujinami, ekonom di Japan Research Institute, dikutip dari Reuters.
Meskipun jumlah pernikahan meningkat 2,2 persen menjadi 499.999 pada 2024, hal itu terjadi hanya setelah penurunan tajam, seperti penurunan 12,7 persen pada 2020.
Akibat rendahnya penduduk di usia produktif, Jepang terpaksa mempekerjakan para lansia yang rata-rata harapan hidupnya relatif tinggi (85 tahun untuk perempuan dan 81 tahun lelaki pada 2025) atau merekrut pekerja migran termasuk dari Indonesia.