IMBCNEWS Jakarta – Pengacara Arlon Sitinjak, SH, MH, meminta kepada Kajati DKI Jakarta dan Tim Jaksa Penuntut Umum agar berkas perkara Tersangka Santoso Halim, Notaris Vivi Novita, dan Notaris Lusi Indriani segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Kami meminta agar para tersangka ini dilakukan penahanan, demi rasa keadilan bagi korban klien kami dan bagi mereka yang akan menjadi korban mafia tanah Santoso Halim ke depannya,” kata Pengacara Arlon Sitinjak, selaku kuasa hukum M. Lutfi Adrian kepada pers di Jakarta, Senin malam (27/5/2024)
Sebelumnya, diberitakan beberapa media menyebutkan, Arlon akn terus mendesak Kajati DKI agar segera menahan Santoso Halim, Notaris Vivi Novita, dan Notaris Lusi Indriani karena sudah ada dasar dari penahanan tersebut, yaitu dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) No. : B/3056/V/RES.1.9/2024/ Ditreskrimum tanggal 22 Mei 2024.
Surat dimaksud adalah tentang pemberitahuan pengiriman berkas perkara atas nama Tersangka Ir. Santoso Halim, Vivi Novita Ranadireksa, S.H., M.Kn., dan Lusi Indriani, S.H., M.Kn ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada 06 Mei 2024 oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya setelah dilakukan Penyidikan sesuai petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Sebelumnya, pada laporan pidana 8 Juli 2021, penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan Santoso Halim serta dua Notaris/PPAT, Lusi Indriani dan Vivi Novita sebagai tersangka pada 15 Desember 2022. Ketiganya diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP.
Selain permintaan penahanan kepada Santoso Halim dan komplotannya, Arlon juga meminta keputusan yang profesional, cepat dan berkeadilan kepada Kepala BPN Jakarta Selatan.
Permintaan dimaksud adalah agar segera melaksanakan Putusan PK MA RI dan Putusan PTUN Jakarta yang telah membatalkan dan mencabut Peralihan SHM atas Santoso Halim.
Dalam kaitan ini, Arlon menagih janji kepada Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono yang akan bertindak tegas terhadap mafia tanah di Indonesia, khususnya terhadap Putusan No.547/G/2023/PTUN.JKT yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Ia menyatakan, Menteri ATR/BPN tidak perlu ragu dakam kasus ini. Rangkaian Peralihan 2 SHM dari Djohan Effendi ke Santoso Halim itu diawali dari cacat administrasi dan kelalaian petugas BPN Jakarta Selatan dalam mencabut permohonan Blokir 2 SHM yg diajukan Djohan Efendi kepada Kepala BPN Jaksel.
Apalagi, Mahkamah Agung telah mengabulkan permintaan peninjauan kembali (PK) atas Putusan Kasasi No 2721 K/Pdt/2021 itu yang sebelumnya diajukan oleh ahli waris, yakni Luthfi Adrian dan Siti Sarita melalui kuasa hukum pada 21 September 2022.
Adapun objek perkara kasus ini, yaitu sebuah rumah di Jalan Kemang V No.12, Mampang Prapatan Jakarta Selatan milik Djohan Effendi yang diambil alih oleh sindikat mafia tanah melalui jual beli bodong.
“Alhamdulillah pada 3 Mei 2023, kami sah secara hukum, bahwa objek perkara yang terletak di Jalan Kemang V No 12 Jaksel adalah milik Djohan Effendi atau milik ahli warisnya yang sekarang adalah Ibu Sarita dan Bapak Lutfi Adrian. Jadi perkara ini sudah kami menangkan melalui putusan majelis di peninjauan kembali MA,” kata kuasa hukum korban, Arlon Sitinjak.
Kasus itu sendiri bermula saat rumah tersebut dikontrakkan kepada Husin Ali Muhammad (59) pada 2016 seharga Rp 45 juta per bulan. Husin disebutkan sering mengadakan acara di rumah itu dan ikut mengundang korban.
Selang beberapa waktu, pelaku meminjam dua sertifikat (SHM) korban dengan dalih ingin menurunkan daya listrik. Awalnya Djohan hanya memberikan berupa fotocopy-an saja, namun Husin kembali berdalih jika PLN meminta menunjukkan SHM asli.
Untuk meyakinkan korban, pada 12 Juli 2016, pelaku membawa serta petugas PLN abal-abal yang dilakoni oleh Fauzi. Alhasil korban pun meminjamkan kedua sertifikat asli yang kemudian dipalsukan oleh pelaku.
“Begitu diserahkan, hanya beberapa menit dikembalikanlah sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya oleh pelaku dan aslinya sudah mereka kuasai,” ujar Arlon.
Mantan Kasat Narkoba Polres Metro Bekasi itu melanjutkan, pelaku yang memegang sertifikat asli, bersama dengan sosok Djohan Effendi abal-abal yang diperankan Halim (DPO), menjual rumah korban kepada Santoso Halim seharga Rp 15 miliar.
Lalu tanggal 12 Agustus 2016 dibuatlah akta jual beli bodong itu seakan-akan terjadi transaksi yang sah di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani. Dalam transaksi tersebut, Santoso mentransfer sebesar Rp 8 miliar. “Yang membuat sangat janggal, uang pembelian bukan diserahkan kepada si penjual, yaitu Halim DPO atau Djohan Effendi, tetapi diserahkan kepada Husin,” ungkap Arlon.
Djohan yang terkejut atas kejadian tersebut, lalu meminta pemblokiran SHM ke BPN. Namun BPN membuka pemblokiran tanpa mengkroscek siapa sebenarnya Djohan Effendi yang asli.
Kasus ini kemudian dilaporkan korban secara perdata dan pidana ke Polres Jakarta Selatan pada 6 Februari 2017. Husin pun akhirnya ditangkap dan dihukum empat tahun penjara karena terbukti melakukan pemalsuan akta autentik dan pemalsuan surat, baik di pengadilan tingkat pertama, maupun banding hingga kasasi.
Santoso Halim yang tak terima, menggugat Djohan Effendi perihal perbuatan melawan hukum ke PN Jaksel dengan perkara nomor 240/PDT.G/2018/PN.JKT.SEL. Atas putusan itu Santoso mengajukan permohonan banding dan menang. Ia pun dinyatakan sebagai yang berhak atas rumah dan tanah tersebut.
Djohan Effendi lalu mengajukan Kasasi dengan Perkara No 2721 K/Pdt/2021, namun gagal. Majelis hakim menyatakan Santoso Halim adalah pembeli beritikad baik. Korban lantas menggugat perdata ke PN Jaksel pada 17 Maret 2020 dengan perkara nomor 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL. Namun majelis hakim yang menangani perkara a quo menjatuhkan putusan “nebis in idem” karena memiliki objek perkara yang sama.
Hingga akhirnya ahli waris korban, Luthfi Adrian dan Siti Sarita mengajukan permohonan PK atas Putusan Kasasi No 2721 K/Pdt/2021. Dan pada 26 Desember 2022, berdasarkan Surat No W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK dari PN Jakarta Selatan diserahkan kepada Ketua MA.
“Setelah keluar PK, Santoso Halim itu dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pemilik yang sah atas objek itu adalah Djohan Effendi. Putusan yang sebelumnya itu sudah gugur,” tegas Arlon.
Kemudian atas putusan PTUN juga sudah diputuskan, bahwa Kepala BPN Jaksel supaya membatalkan sertifikat atas nama Santoso Halim dan mencabut kepemilikan itu untuk penerbitan atas nama Djohan Effendi atau ahli warisnya.
“Kami berharap, atas kasus Pidana dan Perdata ini, kiranya Bapak Kejati DKI Jakarta segera menindaklanjuti. Dan sekiranya diizinkan supaya ditindak tegas, dilakukan penahanan kepada Santoso Halim dan komplotannya supaya tidak ada korban mafia-mafia tanah ke depannya,” katanya.
Menurut Arlon, saat ini masih ada beberapa kasus Santoso Halim lainnya di Mahkamah Agung yang perlu diungkap. Belum lagi kasus PKPU Fiktif Santoso Halim atas PT Inet Globalindo yang dipimpinnya juga telah merugikan MNC Bank hingga ratusan miliar rupiah. Ini sangat berbahaya,” tandas Arlon.
Dari pengamatan Arlon, akhir Mei 2024 ini Santoso Halim juga sedang digugat dalam Kasasi Pengadilan Mahkamah Agung dengan nomor Perkara Pidana Nomor 602/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel. Jo. Nomor 25/PID/2024/PT.DKI.
Dalam Kasasi tersebut, Santoso Halim juga sempat divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terkait keterangan palsu dan sempat ditahan dengan vonis tiga tahun. Tetapi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta banding Santoso Halim menang, sehingga sementara ia bebas lagi.
Dalam kasasi yang sedang berjalan, Hakim Agung yang bertugas adalah Soesilo, SH, MH (Ketua Majlis), Dr. Prim Haryadi, SH, MH (Anggota), dan Sutarjo, SH, MH, serta Panitera M. Jazuri, SH, MH. Dalam rekam jejaknya di berbagai pemberitaan, Dr. Prim Haryadi SH, MH itu sendiri pernah akan dijemput paksa oleh KPK atas kasus suap di MA pada Juni 2023.
imbcnews/sumbr diolah/