| by Asyaro G Kahean
Seorang kakek pilih tempat di pojok. Tercenung dan termangu-mangu ia. Tak sekadar air mata yang sering merembas dan terurai di pipi. Akan tetapi juga, ada yang begitu mendalam di area rasa dan di pikiran. Hal itu menyertai isak tangisnya dalam senyap.
Sunyi. Sepi. Menjadi bagian yang dipandangnya lebih dekat dengan nilai-nilai kesucian. Dan merupakan kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Alkhaliq Yang Mahasuci, Mahalembut, sekaligus Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Agaknya, teramat dalam peristiwa-peristiwa duka nestapa telah mendera kisaran hidup di lingkungannya. Terlebih peristiwa yang erat dengan melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Peristiwa-peristiwa yang sebab-musababnya adalah tangan-tangan kotor dan lidah-lidah berbisa.
Semakin menyedihkan dirasanya; Bila kemudian terumbar ghibah via beragam media. Ghibah yang berujung pada kemelut dan pergumulan saling fitnah-memfitnah di wilayah-wilayah lingkungan kehidupan orang orang tercinta.
Memang, kakek kurus yang rautnya mulai keriput, telah berupaya keras mengubah hobby dan cara pandang. Masa-masa lalunya, hobby akan olah raga dan musik. Kini, hobby tersebut baginya menjadi serapan yang berpotensi pada penodaan dan pengingkaran logika belaka. Tidak semua tubuh atletis mampu berpikir merdeka; Dan tidak semua irama musik indah itu mampu terlepas dari kiprah-kiprah bersifat durjana.
Di pojokan, dirasa-rasa kakek kian menguatkan posisi kedudukan. Ia tiada pernah menganggap keadaan diri dalam kesendirian. Sekali pun mungkin ia akan membiarkan siapa yang coba-coba memojokkan dirinya.
Bukan orang-orang yang berupaya memojokkan, yang bikin air mata teruai-burai. Bukan…. ! Telah diyakini, bahwa orang-orang tersebut belum sanggup merebut posisi yang ada di pojok, sehingga logikanya diisi sifat-sifat kedengkian dalam memusuhi nilai nilai kesucian ruh sendiri.
Dari pojok itulah sang kakek melayangkan halusinasi hingga mencapai ketinggian ‘arasy. Adalah halusinasi yang sejalan dengan anak-anak pikiran; Hingga tampak jelas beragam bentangan sejumlah planet dari mayapada nan amat luas.
Mengejutkan memang. Di atas permukaan bumi berseliweran sampah-sampah yang terus bertumpuk. Hingga sampah-sampah itu menjadi berjuta-juta gugus pegunungan.
Dalam renung-renungnya, dari pegunungan sampah api ‘kan menyambar-sambar amat dahsyat dengan jilatan-jilatan amat panas dan menyerang setiap dada hingga otak manusia.
Air mata dirasa-rasanya tiada sanggup menyirami kobaran api nan menjilat-jilat dahsyat. Air mata hanya tertakar seujung paruh burung pipit.
Karenanya, diam diri di pojok menjadi bagian untuk mengatur alunan napas dan upaya menyegarkan tenggorokan. Lain itu, membawa hikmah; Pada penyelaman langkah-langkah jiwa memasuki kedalaman samudra ruh yang digenangi ombak-ombak kesucian nan menyejukkan sekujur jiwa-raga.
Di tapal batas kemampuan mata memandang, adalah keremang-remangan. Di sanalah berjuta-juta gugus pegunungan sampah berposes. Dimulai dari jari jemari bagai menari riang di atas kipet-kipet huruf dan layar-layar android.
Tari tari jemari yang diiring kilas-kilas senyuman, tiada terluput akan umpatan-umpatan lidah di celah bibir-bibir yang kadang kala seperti meniup-tiupkan bara api.
Pada amaliah-amaliah itulah geliat fitnah turut serta menabur warna-warni benih. Maka semua warna dan warni yang berseliweran, makin pasti meninggalkan jejak-jejak di belantara digital. Jejak-jejak itu tak ubahnya ada pada lembar-lembar buku catatan Rakib dan Atid.
Benih fitnah, dipastikan juga jadi bahan fregmentasi atas tumpukan sampah-sampah. Secara alamiah sampah tersebut berasimilasi menggunduli setiap putik daun kebajiksanaan yang tumbuh!
Sedangkan jejak-jejak bermuatan ghibah laksana memperoleh support kuat, hingga menjadikan jutaan gugus pegunungan sampah di area alam maya amat sulit terkendali. Oh. Mampukah air mata menyirami api yang kobarannya menjilat-jilat setiap gugus pegunungan sampah di seluruh kota dan desa maya?
Sementara waktu, sang kakek menurunkan segmen perih yang dirasa. Bersuci ia. Kemudian rukuk dan sujud jadi pilihan utama di kesenyapan malam.
Kekuatan ikhtiar yang dituluskan, pun memasuki area munajat serta doa-doa; Berakrab ria ia pada kesunyian yang senyap itu. Bersimpuh renung ia di pojok ruangan istighfar…. (Sumber: Inko-bersambung)