| by Asyaro G Kahean
Terkeriap. Ucek ucek mata. Kemudian, perlahan-lahan kedua mata Sang Kakek berkedip-kedip cepat. Pandangan matanya menurun. Agak kabur.
Ada air bening masih berbinar di pelupuk; Di antara dengus-dengus napas yang disyukurinya dengan rasa syukur amat mendalam.
Di atas sajadah, tiada jemu ia ucap istighfar. Ucapan yang dialirkan juga melalui aliran darahnya. Adalah bagian ucapan dari pengakuan pada statemen; “La hawla wala quwwata illa billah”. Karena tanpaNya, ia rasa-rasa bahwa diri tiada sanggup bernapas.
Sedangkan istighfar, dijadikannya sebagai bahan baku yang mesti dirajut. Bahan untuk upaya penguatan pada ni’matush shabar (nikmat kesabaran). Karena sabar itu senyatanya begitu berat. Sabar selalu jadi bidang uji dan ujian sepanjang waktu.
Betapa ia rasakan. Kesabaran begitu kuat mendorong sikap agar diri hati-hati dan waspada. Tiada satu kemenangan pun dalam pertarungan jika rasa sabar tidak masuk pada lingkaran strategi.
Apalagi, ketika menghadapi musuh nyata sesungguhnya, yaitu; Berbagai formasi dalam hidup ini telah disisipi sifat-sifat iblis; Atau, sekurangnya muncul suatu sifat ingkar terhadap besaran rahmat Allah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
Sementara di atas berseliweran aneka sampah informasi; Adanya sifat pengingkaran terhadap rahmatNya jadi dinamika tidak terpisahkan dengan fitnah-fitnah.
Tumbuh suburnya fitnah dan berfitnah, telah menjebak miliaran orang yang mengaku diri sebagai manusia berpikir super dan bersih, namun diam-diam enggan sekali bersuci. Akibatnya, amaliah ghibah berghibah bukannya dimusuhi bersama-sama melainkan malah diakrabi?
Keterjebakan semacam itu, berhakikat pada rentetan penyusahan. Dimulai dari diri sendiri hingga banyak orang rasa damainya berpotensi terdegradasi. Akibatnya lagi, dari jari-jemari, sekilas senyuman, dan tutur lidah kerap terikutkan pada produksi sampah. Dan potensinya makin membesarkan kobaran api yang menjilat-jilat seluruh permukaan.
Berjuta-juta gugusan pegunungan sampah di belantara digital, pada saatnya, dapat saja menjadi bara yang mengepulkan hawa panas teramat dahsyat.
Oh. Diam diam tangis senyap Sang Kakek kian menyusup pada kesunyian. Kakek di pojokan merasa kesunyiaan sebagai segmen penting, dan sebagai bagian tumaknina juga.
Hanya saja kesunyian yang senyap, boleh jadi malah dipandang angker oleh jiwa-jiwa frustasi yang kehilangan rasa sabar.
Oleh karena itu, alunan musik hiruk pikuk yang memekakkan telinga serta sarana berkeangkeran, kerap dijadikan para frustasiwan dan frustasiwati bagai kunci jawaban namun sebatas level coba-coba belaka.
Kakek di pojokan mengernyitkan kening. Teriring jua sungging senyum getir. Itu terlihat di garis kerut wajah. Begitu jelas pada gerak kedua alis matanya yang merapat.
”Astaghfirullah,” sebutnya. Mendesis dan meluncur fasih ucapan istighfar itu lewat celah bibir Sang Kakek.
Kemudian ia menunduk beberapa saat. Ia berupaya mengimbangi halusinasinya dengan intuisi, guna memasuki ketinggian ‘arasy dan mengambil hikmah dari catatan-catatan bernilai keabadian.
Pada catatan lawhil mahfuzh, nyata menunjukkan tentang adanya halusinasi yang kerap disifati oleh keadaan.
Bila saja keadaan tidak ada, maka tidaklah mungkin halusinasi dapat menjadi buah bibir banyak orang di seantero jagat raya.
Memang, pada galibnya bahwa halusinasi acap kali dimusuhi secara frontal dan kemudian dipojokkan pula ramai ramai. Akan tetapi Sang Kakek malah berupaya meninggikan imajinasinya:
Bukankah pada masanya halusinasi dapat saja bersahabat erat dengan intuisi? Dan, tidaklah akal pikiran dapat disucikan jika tanpa hembusan dingin halusinasi yang membentangkan intuisi laksana telaga air pembersih lagi penyegar jiwa; Adalah merupakan air penyegar yang mampu menjangkau setiap titik titik najis di pikiran untuk selalu dan selalu disucikan.
Sehingga, pada masa-masa berikut, kian jelas dan dapat lebih dipahami bahwa: Makna husnu zhan pastilah jauh lebih berfaedah dan berdaya guna jika dibandingkan dengan hilangnya kesabaran pada diri. Sedangkan hilangnya kesabaran telah menjadi bukti nyata sebagai penyebab utama kefrustasian.
Malam kian hening. Senyap menyapa. Tercenung kembali Sang Kakek. Bola matanya terkatup sangat erat.
Tidak lagi ia hendak menghambat jalan petualangan akal-pikiran yang menembus singgasana bernuansakan Allahu Akbar walillahil hamd.
Ada rasa-rasa teramat menawan ia pandang: Hanya nyali-nyali orang pemberani yang berkemampuan menukarkan air mata dengan lautan Taubatan Nashuha. Sehingga, nilai air mata yang semula hanya seujung paruh burung pipit akan dapat menjadi hamparan seluas samudera.
Hal itu kian terpastikan akan menjadi pengisi senjata yang ampuh, guna meredam kobaran api dari berjuta-juta gugus pegunungan sampah yang kian berserak-serak di sudut sudut berbagai kota hingga desa desa pada dunia maya…. (Sumbar: Inko)
Moga jadi renungan berhikmah
#TataMentalBERFITRAH
#TAUBATPastiMaslahat