IMBCNEWS Jakarta | Sebagian warga Suriah merayakan kemanangan atas jatuhnya pemerintahan Basyar Assad,
yang dipusatkan di Lapangan Umayyah di Damaskus pada Minggu. Mereka berharap kemenangan pemberontak akan membawa kebebasan dan kemakmuran. Namun, para analis memperingatkan bahwa masa depan Suriah masih jauh dari kepastian pada masa pergolakan geopolitik yang sedang berlangsung saat ini.
Di tengah kehancuran dan kematian yang ditinggalkan oleh serangan cepat pemberontak dan runtuhnya pemerintahan Suriah, warga sipil mengatakan mereka dengan hati-hati optimis bahwa apa yang menjadi perubahan besar dalam geopolitik regional mungkin juga merupakan perubahan yang lebih baik.
Ghalib Al-Hajouseh, seorang penduduk Salamiyah di wilayah Hama, Suriah. Kepada VOA dia mengatakan, “Otokrasi tidak dapat diterima dari pihak mana pun, dari individu atau kelompok di Suriah. Ini adalah keinginan rakyat Suriah. Kebebasan dan pemilihan umum yang bebas dan bersih. Suriah adalah negara yang demokratis dan beradab. Inilah yang seharusnya.”
Dalam waktu kurang dari dua minggu, pasukan pemberontak telah menguasai kota-kota besar dan kota-kota kecil dan sekarang ibu kotanya, Damaskus. Presiden Suriah Bashar al-Assad dilaporkan telah meninggalkan negara itu.
Semua ini terjadi setelah hampir 14 tahun perang di Suriah, beberapa tahun terakhir sering disebut “beku” atau pertempuran telah berhenti, namun tidak dicapai perjanjian perdamaian atau resolusi politik secara resmi. Setengah juta orang telah tewas dan 13 juta orang telah mengungsi. Banyak keluarga berharap untuk segera kembali.
Um Mahmoud adalah seorang perempuan Suriah yang mengungsi di kota Hama. “Kami mengungsi, tetapi kami akan segera kembali ke Homs. Saya sangat bahagia hari ini, lebih dari yang dapat Anda bayangkan.”
Pasukan Pertahanan Sipil Suriah, kelompok bantuan dan penyelamatan oposisi yang juga disebut White Helmets, menyebut kemenangan itu sebagai “akhir dari periode gelap dan dimulainya era baru bagi Suriah.”
Pasukan pemberontak, yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham, telah mengatakan bahwa mereka akan menjalankan toleransi beragama dan menghormati penduduk multikultural Suriah, tetapi beberapa analis mengatakan identitas Islamis kelompok tersebut dan afiliasinya pada masa lalu dengan kelompok-kelompok lain, seperti al-Qaeda dan al-Nusra, menimbulkan keraguan tentang niat mereka.
Sementara itu, Wakil Asisten Menteri Pertahanan AS Untuk Timur Tengah menyatakan bahwa militer AS dipastikan akan tetap berada di bagian timur Suriah.
Daniel B. Shapiro pada hari Minggu (8/12) mengatakan militer AS akan tetap berada di bagian timur Suriah “semata-mata untuk memastikan kekalahan ISIS dan tidak ada kaitannya dengan aspek-aspek lain dalam konflik ini.” Ia menggunakan kata ISIS untuk merujuk pada kelompok teroris Negara Islam, yang pernah menguasai sebagian Suriah dan Irak pada tahun 2014.
Lebih jauh Shapiro mengatakan, “Kami menyerukan kepada semua pihak di Suriah untuk melindungi warga sipil, terutama mereka yang berasal dari komunitas minoritas Suriah, juga untuk menghormati norma-norma militer internasional dan berusaha mencapai resolusi yang mencakup penyelesaian politik.”
“Berbagai aktor dalam konflik ini memiliki rekam jejak yang mengerikan, termasuk kejahatan Assad, pengeboman dari udara tanpa pandang bulu oleh Rusia, keterlibatan milisi yang didukung Iran, dan kekejaman ISIS,” tambahnya.
Namun Shapiro berhati-hati untuk tidak secara langsung mengatakan bahwa Assad telah digulingkan oleh para pemberontak. “Jika terkonfirmasi, tidak seorang pun boleh meneteskan air mata atas (jatuhnya) rezim Assad,” tambahnya.
Presiden Bashar al-Assad mengundurkan diri dan meninggalkan negaranya setelah berunding dengan pasukan oposisi. Dia dan keluarganya kini berada di Moskow, di mana Rusia telah memberi mereka suaka politik, menurut kantor berita negara TASS.
imbcnews/VOA ind/diolah/