IMBCNEWS | Jakarta, Puluhan tenaga kerja asal Indonesia yang sebelumnya bekerja dengan visa musiman di sektor perkebunan Inggris sebagai pemetik buah dan sayur tetap bertahan meskipun musim panen 2022 sudah berakhir dan masa berlaku visa selama enam bulan juga sudah habis.
Mereka berusaha masuk ke lapangan kerja gelap, misalnya bekerja di dapur restoran atau menjadi pekerja bangunan dengan risiko ditangkap pihak berwenang Inggris. Sebagian lainnya berusaha hendak bekerja secara resmi dengan mengajukan permohonan suaka, demikian dilansir BBCnews, Rabu.
KBRI London mengatakan “tidak menerima informasi atau laporan adanya PMI yang sedang meminta suaka kepada Pemerintah Inggris.”
Untuk mengetahui apa yang melatari pekerja migran Indonesia (PMI) bersiteguh tinggal di Inggris dan bagaimana mereka hidup, saya bertemu dengan mereka.
Tangga menuju peron kereta api di sebuah stasiun London barat daya, tampak basah selepas hujan. Hari kelabu dan langit tertutup mendung, layaknya situasi saat musim dingin. Tidak terdengar deru kereta api. Tiga laki-laki menempelkan kartu di mesin pintu masuk saat hendak menuju peron.
Saya mendengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Saya pun menghampiri mereka untuk mengabarkan bahwa hari itu tidak ada layanan kereta sama sekali. Karyawan kereta melancarkan mogok kerja pada periode akhir Desember 2022 sampai awal tahun baru sebagai aksi agar gaji dinaikkan setara dengan lonjakan biaya hidup. Saya jumpa di Stasiun Malden Manor.
Di stasiun yang melayani kereta dengan tujuan London Waterloo ini, saya berjumpa dengan tiga PMI yang sebelumnya bekerja di perkebunan. “Kami sudah tiga bulan bekerja di sekitar sini. Sebelumnya bekerja di perkebunan,” kata Bayu, salah satu dari mereka. Untuk melindungi jati dirinya, nama sebenarnya tidak digunakan dalam tulisan ini.
“Sampai kapan akan berada di Inggris, mas?” tanya saya. “Wah, belum tahu. Sampai terkumpul rezeki, mbak,” jawabnya.
Bayu dan teman-temannya tiba di Inggris pada akhir Juli 2022 dengan visa kerja musiman untuk sektor perkebunan. Visa berlaku selama enam bulan dan sekarang masa berlakunya sudah berakhir.
Namun, Bayu dan teman-temannya tidak pulang ke Indonesia. Alasannya, karena pendapatan dari bekerja di perkebunan baru bisa menutupi biaya keberangkatan, bervariasi mulai dari Rp65 juta dan bahkan sampai Rp100 juta lebih.
Jadi kuli bangunan di Inggris
Pendapatan yang baru mencapai titik impas itu, kata mereka, disebabkan jadwal keberangkatan dari Indonesia terlambat sehingga tidak lama setelah mereka tiba di Inggris, musim panen sudah hampir berakhir. Buah-buahan, misalnya stroberi, apel dan frambos, jumlahnya semakin sedikit dan kondisi itu menurunkan potensi pendapatan pemetik.
Karena semak berduri, buah blackberry termasuk salah satu jenis buah yang paling sulit dipetik, menurut para pekerja.
Menjawab pertanyaan BBC News Indonesia mengenai tata laksana skema visa pekerja musiman, pada Jumat (20/01) Kementerian Dalam Negeri Inggris, yang antara lain membawahi urusan tenaga kerja asing, mengatakan, “Visa Pekerja Musiman sudah berjalan tiga tahun dan setiap tahun dilakukan perbaikan untuk mencegah eksploitasi dan kondisi kerja yang buruk selama pekerja berada di Inggris.”
Adapun Bayu beserta teman-temannya dihadapkan pada kenyataan pelik, mengubah tanggal tiket untuk pulang ke Indonesia lebih awal tapi menanggung biaya tambahan dan belum bisa mengembalikan modal. Akhirnya mereka mengambil risiko terjun ke pasar gelap. Dan mereka menemukan peluang sebagai kuli bangunan.
Sama dengan perkebunan, lapangan kerja di bangunan sebelum Brexit (Inggris keluar dari organisasi Uni Eropa) diisi oleh tenaga kerja dari negara-negara Eropa timur. Tak ada pembatasan pergerakan manusia dan barang di dalam wilayah Uni Eropa, tetapi begitu Inggris keluar, maka warga negara Uni Eropa harus mengikuti peraturan imigrasi sebagaimana layaknya warga negara lain jika hendak masuk ke Inggris.
Tak semua pemetik buah menempuh jalan yang sama dengan Bayu. Mayoritas dari 1.400 orang lebih sudah pulang ke Indonesia secara bergelombang, sebagian dengan uang lebih, sebagian masih menanggung utang, sebagaimana telah diberitakan BBC News Indonesia dalam laporan bertajuk Pekerja migran Indonesia di Inggris: Lebih dari 200 orang dipulangkan, sebagian ‘belum menutup utang dan harus gadaikan rumah’.
Bayu dan kawan-kawannya saat ini mengerjakan renovasi rumah dengan gaji kotor £80 per hari, sekitar dengan Rp1,4 juta untuk kurs sekarang. Jika mereka bekerja lima hari seminggu, maka upah kotor mencapai £400 per minggu atau £1.600 per bulan. Ini setara dengan Rp29 juta, jumlah yang tampak fantastis apabila mereka bekerja di Indonesia.
Namun biaya hidup di Inggris jauh lebih tinggi dibanding di Indonesia, hampir 70% lebih mahal, menurut livingcost.org, situs yang membandingkan biaya hidup di 197 negara. Tarif harian kereta bawah tanah zona 1-4 di London ditetapkan £11 atau sekitar Rp200.000.
Bayu juga harus mengeluarkan biaya untuk makan, transportasi dan akomodasi. Sebagai gambaran, satu porsi nasi goreng ayam untuk dibawa pulang sekitar £6,70 (Rp125.000). Tarif bus kota £1,65 sekali jalan. Sewa kamar minimal £100 (Rp1,8 juta) per orang per minggu untuk kamar yang digunakan beramai-ramai. Gaji kotor £80 per hari tidaklah kecil untuk pekerja bangunan yang belum kaya pengalaman. Ini sedikit di atas rata-rata upah minimum nasional Inggris £9,50 per jam. Adapun mereka yang berpengalaman minimal menerima £150 per hari.
Bayu mengaku gaji yang sekarang hampir sepadan dengan penghasilan di perkebunan sebagai pemetik buah. Pada bulan pertama dan kedua, buah masih melimpah.
“Satu minggu bisa dapat £500-£600, tapi bulan Oktober-November buah sudah sedikit. Jadi penghasilannya berkurang. Dapat £300 sudah beruntung,” ujarnya.
Pendapatan itu belum bersih karena pekerja menanggung biaya hidup sendiri. Komponen terbesar adalah sewa akomodasi £60-£80 per minggu.
Kementerian Dalam Negeri Inggris mengakui banyak pekerja musiman baru tiba di Inggris pada pertengahan tahun untuk memanen buah dan sayur musim dingin.
“Mereka berhak tetap bekerja selama visanya berlaku. Perusahaan penyalur sering kali memindahkan pekerja ke perkebunan lain, baik atas dasar permintaan sendiri atau berdasarkan keperluan perkebunan, yang memaksimalkan potensi pendapatan pekerja dan mengoptimalkan masa berlakunya visa yang juga menguntungkan pihak perkebunan.”
Tapi, bagaimana warga negara Indonesia bisa bekerja di Inggris padahal visa telah kedaluwarsa? Saya menuju pusat kota London untuk mengikuti tiga pekerja migran Indonesia lainnya. Mereka hendak mencari kerja. Dua orang – satu perempuan dan satu laki-laki – masih mempunyai hubungan saudara. Adapun orang ketiga mengenal mereka karena pernah bekerja di satu perkebunan. Inilah lika-liku hidup PMI di Inggris.
imbcnews/BBC/diolah