Oleh: Theo Yusuf Ms
| Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan SMSI
Contoh Richard Posner juga dapat dibalik menjadi, harga emas dari Rp100 juta akan melonjak menjadi Rp250 juta. Proses pemidanaannya Rp100 juta dan denda atas pencurian emas itu Rp50 juta. Dengan demikian, jika dendanya separuh dari nilai yang dicuri saja, negara masih untung.
Contoh yang paling anyar adalah kasus Harvey Moeis pidana korupsi di kasus timah yang diputus hanya 6,5 tahun, sementara kerugian negara ditaksir lebih dari Rp275 triliun, maka kerugian negara akan tambah besar jika aset terdakwa tidak dapat disita oleh negara.
Harvey yang didakwa dengan UU Korupsi No 20 Tahun 2001 Jo. UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, cukup berada di sel hanya 1/3 dari putusannya. Artinya, kurang dari 4 tahun yang bersangkutan sudah kembali ke masyarakat dan akan kembali sebagai seorang pengusaha.
Dalam pandangan Prabowo, hukuman seperti itu dinilai kurang adil dan tepat; Pertama sumber filosofinya dari barat, dimana pada masa silam penjajah maunya menyiksa dan memenjarakan, tanpa mengkalkulasi kerugian uang negara dan kerugian rakyat atas proses hukumannya.
Oleh karenanya, perlu ada aturan baru yakni orang atau koruptor dipaksa untuk mengembalikan uangnya, jika tidak mau mengembalikan maka assetnya perlu dirampas untuk negara.
Inilah pemikiran progresif Prabowo dalam usaha memberntas korupsi dengan tetap menjadikan negara dan rakyat tetap untung atau tidak buntung.
Mengapa begitu? Di mata Prabowo, pembuatan hukum dan pasal di masa silam masih dipenuhi dengan kebencian terhadap manusia, bukan kepada perbuatannya. Sebut saja pembuatan Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi: Sanksinya, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Pasal itu dirujuk dalam Pasal 419 KUHP warisan kolonial.
Sekaratnya Demokrasi
Gagasan Prabowo tentang pemberantasan korupsi tidak harus berbanding lurus dengan sistem yang menganut demokrasi, di mana “doe process of law” adalah salah satu adagium, semua koruptor harus diproses sesuai dengn hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan hak asasi manusia.
Sekilas pernyataan itu enak didengar, namun dalam pelaksanaanya, seolah menjadi pil pahit bagi rakyat miskin. Mengapa? Dalam sistem negara demokrasi ternyata ada juga demokrasi yang “sekarat”. Demokrasi sekarat atau matinya demokrasi, sebagaimana diulas oleh Steven Levitsky dan Daneil Ziblatt, “how Democrasies Die” atau matinya Demokrasi (Steven 2021).
Mereka menyebutkan matinya demokrasi antara lain ketika rakyat yang berkuasa, tetapi sesunguhnya kekuasaan itu dikendalikan oleh pemilik modal, pemilik media massa, para begundal hukum dan pimpinan partai.
Ziblatt mencontohkan, Fuji Mori, anak keturunan Jepang menjadi Presiden di Peru tahun 1990-an mengalahkan Vargas Lioasa, sastrawan Peru yang mendapatkan dukungan partai, konglomerat dan media massa setempat. Meski pun Fuji Mori sebagai presiden terpilih secara demokratis, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam tahun pertamanya, tak satu pun UU dapat dihasilkan.
Bahkan kebijakan apa pun yang disampaikan, dimentahkan oleh Mahkamah Agung karena telah dikuasai oleh para begundal hukum. Fuji Mori pernah mengatakan, “saya memerintah Peru sendirian di balik komputer (Steven,2021:56).
Akhirnya tak lama kemudian Fuji Mori dijatuhkan oleh lawan politiknya dengan cara seolah demokratis, tetapi sesunguhnya semua aturan dapat dimanipulasi oleh para taipan, tokoh partai dan begundal hukum. Sistem demokrasi seperti itu sama halnya sekaratnya demokrasi.
Oleh karena itu, dalam penegakan demokrasi dan hukum, Prabowo Subianto tampaknya tidak ingin seperti Fuji Mori. Ia boleh dijauhi dari para taipan, konglomerat dan media massa, tetapi rakyat dan TNI tetap kuat di belakangnya, maka akan banyak kebijakan untuk disampikan demi kepentingan rakyat dan negara. Seperti yang disebutkan, demokrasi kita bisa dikuasai pemodal.
Menurut saya, demokrasi saat ini ada di persimpangan jalan. Apakah demokrasi kita akan di-hijack, akan disandera oleh para kurawa? “Saya sudah keliling kesemua kabupaten di Indonesia. Di tahun 2014-2019 saya berkesempatan keliling ke ratusan kota dan kabupaten.
Di mana-mana rakyat mengaku sudah tak tahan lagi, terlalu banyak korupsi di negeri ini, banyak proyek dikorupsi, banyak orang disogok, banyak pemimpin mau dibeli dan mau disogok. Akhirnya tidak ada keadilan ekonomi.” (Prabowo,2022:89).
Keprihatian rakyat yang dirasakan Prabowo itu bagian penting dari kerangka teori yang menggagas pemberantasan korupsi di Indonesia yang kian akut. Dengan menyuruh orang bertobat, mengembalikan hasil korupsinya, jika tak ingin harta bendanya dirampas untuk negara dan rakyat.
Saya tahu ada orang yang tidak suka dengan konsepnya. “Saudara-saudara sekalian, yang nyinyir sama saya, silakan kau duduk saja di sebelah situ, ini belum apa-apa. Nanti, 6 bulan lagi, baru saudara boleh nilai pemerintah Prabowo Subianto,” katanya, (YouTube Sekpres, 2024).
| Habis, semoga bermanfaat