IMBCNEWS | Jakarta, Penurunan jumlah laju pertumbuhan penduduk China sejak dikuasai oleh Partai Komunis 70 tahun lalu, menyebabkan munculnya dampak mulai dari perawatan lansia hingga perekrutan tentara.
Jumlah pertumbuhan penduduk sudah menurun selama beberapa tahun terakhir namun angka terbaru hari Selasa yang menunjukkan jumlah penduduk berkurang 850 ribu orang di tahun 2022 ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
“Perkembangan ini akan berdampak pada masalah di dalam negeri dan juga masalah strategis secara internasional,” kata analis masalah China di American Enterprise Institute di Washington Mike Mazza, dilansir ABC Indonesia di Jakarta, Jumat.
“Singkatnya Partai Komunis akan menghadapi banyak masalah.”
Namun pengamat lainnya tidaklah begitu pesimistis. “China semakin menjadi negara berteknologi tinggi, sehingga mengkonsentrasikan diri meningkatkan sistem pendidikan, khususnya peningkatan daerah pedesaan, dan bahkan di kota adalah hal yang vital,” kata akademisi di University of Miami June Teufel Dreyer.
“Jadi akan terjadi peningkatan produktivitas. Mereka yang lebih makmur akan membeli lebih banyak jadi GDP akan meningkat.”
Dengan pola ini akan berlanjut, PBB memperkirakan jumlah penduduk China akan turun dari angka 1,41 miliar ke angka 1,31 miliar di tahun 2050 dan akan terus menurun setelah itu.
Kebijakan satu anak
Kekhawatiran akan jumlah penduduk yang terlalu banyak menyebabkan China menjalankan kebijakan satu anak di akhir tahun 1970-an.
Beijing mengatakan kebijakan itu mencegah kelahiran sekitar 400 juta orang namun para pakar tidak sependapat mengenai apakah penurunan tingkat kelahiran sekarang ini disebabkan oleh kebijakan tersebut.
Menurut para pakar demografi, kebijakan satu anak, terjadi di saat adanya perubahan besar-besaran dalam masyarakat China, di mana warga pindah ke kota-kota besar di tengah pertumbuhan ekonomi yang cepat.
“Tentu saja kebijakan satu anak memiliki pengaruh,” kata Sabine Henning dari Komisi Sosial dan Ekonomi Asia untuk PBB yang berkantor di Bangkok.
“Namun gaya hidup berubah. Biaya hidup meningkat. Jadi warga cenderung ingin punya anak lebih sedikit. Dan ini hasilnya menurunnya tingkat kelahiran yang terus berlanjut sejak kebijakan satu anak dihentikan.”
Karena menurunnya tingkat kelahiran, China menghentikan kebijakan satu anak tujuh tahun lalu namun dorongan agar keluarga memiliki lebih banyak anak sejauh ini tidak berhasil, hal yang sama juga terjadi di negara lain.
Pengalaman di Eropa dan Jepang menunjukkan betapa sulitnya mengubah pola berpikir dan membalikkan penurunan dengan kampanye dan insentif dari pemerintah. “Yang mengherankan adalah kita semua setuju bahwa sudah terlalu banyak orang di bumi ini di mana untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan, air dan papan menjadi ancaman bagi ekosistem. Namun ketika jumlah penduduk di satu negara mulai menurun, pemerintah di negara tersebut langsung panik,” kata Professor Dreyer.
imbcnews.abc/diolah/***