IMBC NEWS, Jakarta | Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI yang sudah in kracht atau sudah berkekuatan hukum tetap dinilai tidak kunjung dipatuhi oleh Gubernur Sumetera Selatan (Sumbel) Herman Deru. Dengan memegang Kuasa Subsitusi dari kantor Pengacara Azi Ali Tjasa, Sohari & Partner yang beralamat di Kota Bengkulu, wartawan senior anggota PWI Jaya, NA: 09.00.1824.86, A Rasyid Muhammad, melaporkan Gubernur Sumsel itu kepada Presiden RI Joko Widodo dan juga ke beberpa pimpinan institusi kenegaraan lainnya.
Dilakukannya pelaporan, dikarenakan ada pihak-pihak terzhalimi. Mereka itu mengharapkan keadilan agar terealisasi dengan damai. Pasalnya, pihak-pihak yang mengharap terealisasinya keadilan sudah punya dasar, dan dasarnya berkekuatan hukum tetap. Hanya saja, sebagai pejabat tinggi negara, Gubernur Herman Deru terkesan mengangkangi atau mengabaikan in kracht yang telah diterbitkan Mahkamah Agung.
“Ini bukan persoalan sederhana, karena yang diharapkan adalah kesadaran Gubernur Sumatera Selatan dan kedudukannya sebagai pejabat tinggi negara; Dalam masalah ganti kerugian terhadap ahli waris atas lahan yang diperuntukan Pemrov membangun Masjid Sriwijaya, berlokasi di Jakabaring, Kota Palembang,” kata pelapor Rasyid Muhammad secara tertulis yang diterima IMBCNews di Jakarta, Senin (30/1/2023) siang.
Pelapor mengemukakan, selaku pejabat tinggi negara harusnya memberikan keteladanan dalam penegakan hukum. “Bukan malah hendak mengaburkan makna kekuatan hukum tetap yang sudah diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Dan hendaknya, sebagai orang number one di Sumsel, dalam mematuhi putusan hukum bertindak sebagai nomor wahid di hadapan publik,” sebutnya.
Lebih lanjut sebut dia, laporan yang dilakukan tidak hanya kepada Presiden RI saja. Akan tetapi juga laporan telah disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Menkopolhukam RI, Menteri Dalam Negeri RI, Komisi Ombudsman RI dan Komnas HAM RI, juga kepada Ketua Pengadilan Tinggi Palembang dan Ketua DPRD Sumsel.
“Laporan sudah kami sampaikan pada tanggal 19 Desember 2022 dan 2 Januari 2023,” katanya, seraya ia memaparkan kronologi kasus yang memiliki kaitan erat dengan yang dilaporkannya tersebut.
Menurutnya, pada tahun 2015 beberapa orang, terkhusus kaum ibu: 1) Siti Khadijah, 2) Musawir bin Yahuza, 3) Ny.Suhartati, 4) Ny. Rismarini, 5) Ny.Erna Astuti memiliki sebidang tanah seluas 79.735 meter persegi. Tanah itu terletak di Kecamatan Seberang Ulu I Kelurahan 8 Ulu (sekarang Jalan Pangeran Ratu Jakabaring), Kodya Palembang. Adalah merupakan tanah peninggalan suami/orang tua mereka Bernama Yahuza bin Madun (almarhum)/Pewris.
Yahuza bin Madun meninggal dunia pada tahun 1990; Maka secara otomatis tanah tersebut menjadi hak bersama para ahli waris. Kemudian tanah itu dimanfaatkan sebagai tempat bercocok tanam/pertanian tanpa ada gangguan dari siapa pun. Hanya saja, kemudian ketenteraman hidup mereka mulai terusik dengan adanya rencana Pemrov Pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang yang berlokasi di tanah mereka, tanpa diawali dengan persetujuan dari para ahli waris.
Dalam hal itu Pemprov Sumsel telah sewenang-wenang menyerahkan tanah milik ahli waris untuk pembangunan Masjid Sriwijaya; Kesewenangannya adalah dengan mengerahkan aparat untuk menggusur apa saja yang berada di atas tanah ahli waris, baik bangunan mau pun tanam tumbuh tanpa adan ganti rugi atau kompensasi sedikit pun.
Sampai dengan 16 Oktober 2015, para ahli waris tersebut melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang melalui kantor pengacara Azi Ali Tjasa, Sohari & Partner melawan Negara Republik Indonesia c/q Menteri Dalam Negeri RI c/q Gubernur Sumsel, dan turut tergugat Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumsel.
Proses hukum berjalan di Pengadinan Negeri Palembang. Hasilnya, PN memutus perkara tersebut pada No.: 200/Pdt.G/2015/PN Palembang tanggal 17 Juli 2016 dengan Kemenangan Ahli Waris/Penggugat. Pihak Pemprov kemudian naik banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sumsel, kemudian PT sudah memutus perkara tersebut No. 102/PDT/2016/PT.PLG tanggal 8 Desember 2016 dengan Kemenangan Ahli Waris.
Lagi-lagi pihak Pemprov melanjutkan perkara ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan MA telah memutus perkara tersebut dengan No. 1637/K/Pdt/2017 tanggal 11 September 2017 dengan Kemenangan Ahli Waris. Terakhir pihak Pemprov melakukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung dan PK tersebut telah diputus dengan Nomor 282/PK/Pdt/2020, dengan Kemenangan Ahli Waris.
Namun sangat disayangkan setelah menggebu-gebu melakukan perlawanan terhadap Ahli Waris yang umumnya kaum ibu, miskin dan tidak berdaya, pihak Pemprov Sumsel hingga saat ini tidak melaksakan Putusan yang sudah in kracht, dengan alasan yang dicari-cari dengan kesan untuk menghindar dari tanggung jawab.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, pelapor mohon bantuan Presiden RI, Ketua Mahkamah Agung RI, Menkopolhukam RI, Menteri Dalam Negeri RI, serta pihak-pihak terkait untuk membujuk, menegur, memerintahkan Gubernur Sumsel Herman Deru selaku pejabat negara untuk melaksanakan Putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap yaitu membayar ganti rugi kepada ahli waris sebesar Rp13.867.500.000,00 (Tiga Belas Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
Ada pun total perhitungan tersebut dengan harga tanah hanya Rp500.000,- per meter persegi. Sementara dalam memori Kasasi yang diajukan pihak Pemprov Sumsel, mereka menuntut ganti rugi kepada Ahli Waris sebesar Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar) dengan perhitungan harga tanah sebesar Rp2.500.000,- per meter.
‘’Kami laporkan hal tersebut kepada Presiden dan pimpinan institusi negara yang lainnya, dimaksudkan juga sebagai upaya mengingatkan, bahwa yang akan dibangun di atas lahan tersebut yaitu Masjid, Rumah Allah, tempat suci. Jangan sampai lahan yang dipakai hasil rampasan dari kaum miskin yang tidak berdaya, atau dengan cara menzholimi rakyatnya sendiri,’’ imbau Rasyid Muhammad. (asy/prl-IMBCNews)