IMBCNews, Jakarta | Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama menggelar Sarasehan Nasional Kemasjidan di Jakarta, 16-18 Maret 2023. Kegiatan ini diikuti para alim ulama, takmir masjid, aktifis masjid dan pejabat Kemenag pusat daerah.
Sarasehan tersebut mengangkat tema “Masjid Ramah untuk Tahun Kerukunan” dengan mengulas tiga topik besar. Pertama mendiskusikan masjid, umat dan tantangan tahun politik. Kedua, konsep masjid ramah sebagai tawaran resiliensi masjid, dan ketiga adalah ihwal upaya kolaboratif pemberdayaan filantropi untuk pemberdayaan masjid.
Dijadwalkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas membuka acaraz tersebut, namun berhalangan hadir, diwakili oleh Staf Menteri Agama Moh Nuruzzaman yang menyampaikan sambutan Menag.
Menag memaparkan beberapa point; Pertama secara normatif, upaya revitalisasi peran dan posisi masjid dalam kehidupan masyarakat muslim sungguh sangat diperlukan. Masjid (sajada-yasjudu-sajdan-wa masjidan) secara etimologis memang bermakna tempat untuk bersujud, tempat untuk beribadah. Hanya saja, secara istilaahan, secara terminologis, masjid bermakna pusat aktivitas keagamaan, baik ibadah mahdloh, melakukan shalat dan dzikir, maupun ghoir mahdhah, seperti kegiatan pendidikan, sosial bahkan ekonomi.
Menag berharap masjid-masjid menegaskan dan merevitalisasi peran dan posisinya sebagai pusat berbagai aktivitas keagamaan tersebut.
Kedua, secara substansi dan timing, kegiatan Sarasehan Nasional Kemasjidan ini sangat tepat, kontekstual, dan strategis. Kita saat ini berada di tahun politik, yang memiliki potensi konfliktual yang cukup tinggi. Ada kemungkinan penggunaan masjid untuk aktivitas kampanye politik praktis, wahana penyampaian narasi yang menyerang pihak lain, atau bahkan ruang pergesekan fisik antarpihak yang berbeda pilihan. Dengan Sarasehan ini, kita pertegas ruang abu-abu, mana yang boleh dan mana yang tidak, lalu sampaikan dan viralkan pada masyarakat.
Ketiga, sarasehan ini penting karena membahas isu-isu yang tidak sekadar relevan dengan konteks keumatan dan kebangsaan, namun juga strategis untuk menata atau merevitalisasi hal ihwal kemasjidan secara makro.
“Hemat saya, kesempatan pertemuan nasional serupa ini harus dilakukan setiap tahun, dengan kendali progress yang bisa dikawal bersama. Maka, dari tahun ke tahun kita bisa terus meningkatkan pengelolaan ihwal kemasjidan ini, juga merespon isu-isu aktual yang berkembang di masjid,” jelasnya.
Sementara Direktur Bimas Islam Kamaruddin Amin menyampaikan bahwa Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama secara khusus berfokus pada konteks revitalisasi peran masjid dalam merekatkan umat, termasuk dalam mencegah menjadikan wahana masjid sebagai pemicu polarisasi.
“Bimas Islam mendorong masjid atau musala semakin profesional, moderat dan berdaya—melalui program Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB),” ujarnya.
Menurut Kamaruddin, secara praktikal, diantara implementasi MPMB itu dikembangkan juga konsep “Masjid Ramah” sebagai perwujudan berbagai anasir ramah, yakni merawat keragaman, melayani semua kalangan, adaptif terhadap lingkungan, dan bahkan memberdayakan segenap ekosistem masjid.
“Dengan pengembangan masjid ramah maka segenap ekosistem masjid, takmir, khatib, dai, penceramah, ibu-ibu, remaja, anak-anak, dan jamaah umumnya akan merasa nyaman dan dalam suasana harmonis. Masjid kembali pada fungsinya sebagai ‘jaami’ yang menghimpun menyatukan, serta menjadi tempat yang khidmat untuk beribadat dan bermuamalah,” kata Dirjen pada acara pembukaan sarasehan, Kamis malam. (Kadar Santoso)