Evaluasi terkait implementasi kebijakan hilirisasi.
Oleh Achmad Nur Hidayat MPP
Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan kajian bahwa ada 5,3 juta ton bijih nikel (nickle ore) telah di ekspor secara ilegal ke China.
Praktek penyelupan tersebut terendus KPK bukan berdasarkan data beacukai ataupun data BPS Indonesia namun berdasarkan data customs dari Pemerintah China.
Berdasarkan data KPK, penyelundupan bijih nikel terjadi di Pelabuhan China dan kerap dilakukan dengan memakai dokumen pelaporan kode barang yang diekspor yakni HS Code 2604 atau HS0 2604. HS Code 2604 adalah kode untuk nikel olahan atau nikel pig iron atau sejenisnya. Langkah tersebut digunakan untuk memanipulasi petugas agar diloloskan oleh Bea Cukai.
Beacukai menilai HS Code 2604 bukan bijih nikel namun nikel olahan, sehingga bisa diizinkan keluar dari kawasan kepabeaan pelabuhan di Maluku dan Sulawesi.
Hal ini adalah kebobolan besar yang diduga melibatkan oknum surveyors, beacukai dan oknum petugas pengawasan.
Para pengambil kebijakan (policy makers) perlu melakukan evaluasi terkait implementasi kebijakan hilirisasi terutama tata kelola hilirisasi dan sistem pengawasan sektor pertambangan.
Buruknya tata kelola hilirisasi telah merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional. Perbaikan tata kelola industri tambang menjadi syarat mutlak yang harus segera dilakukan seiring gencarnya upaya pemerintah mengembangkan hilirisasi industri tambang belakangan ini.
Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak dirugikan oleh praktik aliran dana tak wajar yang umum terjadi di sektor ekspor ilegal barang tambang.
Pada periode 2008-2017, nilai rata-rata aliran dana mencurigakan di sektor pertambangan mencapai 43 miliar dollar AS, yang berarti Indonesia berpotensi mengalami kerugian sekitar Rp 610,09 triliun dalam bentuk kehilangan pendapatan pajak dan pos penerimaan lainnya.
Salah satu contohnya adalah pelanggaran ekspor bijih nikel yang berujung kepada ekspor ilegal nikel di masa lalu. Indonesia sempat mengharamkan ekspor bijih nikel di zaman SBY 2014. 2 tahun kemudian yaitu pada 2016, General Administrations of Customs of China (GACC) melaporkan ekspor bijih nikel dari Indonesia senilai 4 juta dollar AS. Data itu tidak tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebocoran ekspor ini diperkirakan merugikan negara Rp 2,8 miliar.
Kasus serupa juga terjadi pada 2020. BPS tidak mencatat adanya ekspor bijih nikel (kode HS 2604), tetapi GACC lagi-lagi mencatat, ada impor 3,4 juta ton bijih nikel dari Indonesia senilai 193,6 juta dollar AS atau setara Rp 2,8 triliun pada 2020.
Permasalahan tersebut tidak mungkin sekedar salah mencatat code HS02604 antara customs pihak Indonesia dan China.
Tata kelola Hiliriasasi yang buruk selain dari kecoboran ekspor ilegal nikel oleh produsen nikel, juga terjadi dari proses pengawasan oleh pihak surveyors. Persoalan pengukuran kadar menjadi permainan kebijakan hilirisasi.
Tata kelola buruk memberikan insentif bagi surveyors, produsen dan eksportir ilegal bermain ekspor ilegal. Perbedaan pengukuran kadar bijih nikel antara penambang di hulu dan pengusaha smelter di hilir adalah permainan para Surveyor. Pengusaha smelter kerap menetapkan kadar yang lebih rendah dibandingkan di hulu.
Kebijakan hilirisasi nikel yang gencar dikampanyekan pemerintah saat ini lebih banyak menguntungkan eksportir ilegal dan pemain industri smelter di negara lain, khususnya China.
Hilirisasi tambang justru tidak diiringi dengan industrialisasi di dalam negeri yang bisa memperkuat struktur industri nasional dari hulu ke hilir. Contohnya 100 persen ekspor ferro-nickel dan nickel pig iron (produk olahan nikel di sektor antara) Indonesia pada 2022 adalah ke China. Bukannya Indonesia pakai untuk mendukung dan memperkokoh struktur industri dalam negeri, melainkan malah dikirim untuk mendukung industrialisasi di China.
Kebijakan hilirisasi juga diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dari China, tidak hanya untuk tenaga ahli, tetapi juga untuk pekerja kasar, seperti petugas keamanan, pengemudi, koki, pekerja bongkar-muat, dan manajer gudang. ini menunjukan bahwa tata Kelola Hilirisasi sudah sangat Buruk dan tidak boleh terus dibiarkan!
Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan CEO Narasi Insitute