Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP
Masyarakat Indonesia baru-baru ini dihebohkan dengan pertemuan makan siang antara Presiden Jokowi dan tiga bakal calon presiden di Istana Merdeka. Pertemuan ini dihadiri oleh Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengundang 194 penjabat kepala daerah dan menekankan pentingnya netralitas dalam proses pemilihan presiden mendatang.
Pertemuan ini tentu saja menjadi sorotan. Bagi sebagian besar, ini adalah langkah baik yang menunjukkan bahwa Presiden ingin memastikan Pilpres yang damai dan adu gagasan, bukan adu fisik. Mereka memuji pertemuan ini sebagai bentuk transparansi dan inklusivitas, di mana Jokowi, sebagai pemimpin bangsa, ingin mendengar pendapat dari calon pemimpin yang mungkin akan menggantikannya.
Namun, apakah pertemuan ini benar-benar mencerminkan netralitas presiden? Apakah makan siang di Istana ini murni bertujuan untuk menyatukan visi dan misi demi kebaikan bangsa? Atau adakah maksud lain di baliknya?
Saat masyarakat mulai banyak memuji pertemuan ini, banyak yang berpendapat bahwa langkah tersebut dapat mengubah pandangan publik tentang isu dukungan presiden. Bukankah semua pihak, termasuk ketiga tokoh yang diundang, menginginkan presiden untuk bersikap netral dalam pemilihan presiden mendatang?
Jokowi sendiri mengundang 194 orang penjabat kepala daerah dan menekankan pentingnya netralitas dalam pertemuan tersebut. Dengan demikian, langkah ini dapat dilihat sebagai usaha Jokowi untuk menunjukkan sikap netralnya sebagai seorang negarawan.
Namun, apabila kita mencermati lebih dalam dinamika politik yang sedang berlangsung, ada beberapa hal yang perlu kita pertanyakan. Salah satunya adalah mengenai pertemuan makan siang yang dianggap banyak pihak sebagai ‘Gimmick’. Mengapa demikian?
Tidak bisa dipungkiri, pertemuan seperti ini tentunya memiliki dampak positif bagi citra presiden. Beberapa pihak bahkan menanggapi positif dan mengapresiasi pertemuan tersebut. Namun, ketika kita melihat lebih jauh ke belakang, ada beberapa kejadian yang mungkin bisa menjadi pertimbangan.
Satu hal yang cukup menarik adalah kenyataan bahwa dalam pertemuan tersebut, Prabowo menegaskan bahwa tidak ada pembahasan tentang Gibran Rakabuming Raka. Namun, mengingat bahwa hanya seminggu yang lalu Presiden Jokowi disebut-sebut ikut serta dalam proses penentuan calon presiden-cawapres dengan memasukkan nama Gibran, pertanyaannya adalah: apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Ditambah lagi dengan adanya pemberitaan mengenai Wakil Menteri Desa, Paiman Raharjo yang terlihat memimpin rapat yang membahas dukungan kepada calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka, dalam pemilu 2024. Dalam sebuah video yang menjadi perhatian, Paiman dan para tamu di rapat tersebut sepakat untuk membantu Gibran memenangkan pemilu dan berencana melaporkan hasil rapat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Sekretariat Negara Pratikno.
Meskipun Paiman mengklaim bahwa rapat tersebut adalah pertemuan rutin relawan Sedulur Jokowi, upaya yang terlihat untuk mengorganisir dukungan bagi Gibran menimbulkan pertanyaan tentang netralitas pejabat pemerintah dan campur tangan dalam proses politik.
Hal ini memunculkan kebingungan terkait peran Paiman sebagai tim pengarah dalam rapat tersebut dan menimbulkan kekhawatiran tentang pengaruhnya sebagai pejabat negara.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar. Apakah gimmick netralitas presiden ini sejatinya hanya tipuan belaka? Apalagi jika kita melihat kenyataan bahwa seluruh penjabat kepala daerah yang ada saat ini dipilih oleh Menteri Dalam Negeri atas dasar loyalitas mereka kepada presiden.
Jadi, apa maksud gimmick ini sebenarnya? Apakah presiden ingin menutup jejak peran aktifnya dalam menentukan calon-calon yang akan bertarung di pemilu mendatang, termasuk peran aktifnya di Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang dalam proses persidangan?
Dengan demikian terjadi ketidaksinkronan antara image yang saat ini dibangun bahwa presiden tidak cawe-cawe melalui undangan makan siang 3 capres, dengan apa yang terjadi dilapangan.
Sebagai masyarakat, kita tentunya berharap agar pemilihan presiden mendatang berjalan dengan jujur, adil, dan berkualitas. Kita ingin pemilu yang damai, di mana setiap pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi dan menyampaikan gagasannya.
Namun, di tengah-tengah semua itu, kita juga harus tetap waspada dan kritis terhadap setiap langkah yang diambil oleh para pemangku kebijakan. Sebab, hanya dengan sikap kritis dan penuh pertimbanganlah kita bisa memastikan bahwa demokrasi kita benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Penulis adalah ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute