IMBCNEWS Jakata | Guru Besar Fakultas Hukum Univ. Indonesia, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH menghimbau agar para tokoh, politisi dan guru besar dari berbagai kampus untuk tidak memperkeruh situasi sosial dan politik menjelang Pilihan Presiden yang sebentar lagi dilaksanakan.
” Saya menganjurkan agar suara kampus-kampus perguruan tinggi, dan tokoh-tokoh yang menamakan diri sebagai tokoh-tokoh bangsa dengan kemuliaan niat dan maksudnya masing-masing, agar, Pertama, cukuplah menyuarakan sebatas himbauan untuk pemilu damai, dan pemilu berlangsung bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai ketentuan UU dan UUD 1945,” kata Prof. Jimly yang disampaikan lewat siaran pers, diterima IMBCNEWS, di Jakarta, Kamis.
Oleh karenanya, kata Jimly yang juga anggota DPD ini menyerukan, para tokoh kampus, tidak perlu ada nada menyalahkan, berusaha memberikan penilaian negatif yang bersifat konklusif, apalagi dengan keyakinan yang kuat bahwa negara demokrasi kita akan runtuh, dan hasil pemilu dan pilpres akan ditolak oleh rakyat yang akan bergerak, sehingga akan terjadi krisis dan situasi keos yang memecah-belah bangsa. Ujaran seperti katanya, justru tidak mendidik kepada generasi penerusnya.
Ia juga mengatakan, kita semua sebagai warga negara yang secara sendiri-sendiri dan bersama-sama memiliki kedaulatan tertinggi untuk menentukan pilihan, marilah mantapkan pilihan kita menuju pemungutan pada 14 Februari 2024. “Jangan pilih paslon presiden/wakil presiden, caleg DPD, caleg DPR dan DPRD dari partai politik yang kita tidak sukai, yang bahkan telah membuat kita sangat marah dengan penuh kebencian, tetapi hormatilah warga masyarakat lain yang juga memiliki hak dan kedaulatan seperti kita untuk memilih orang atau partai yang kita tidak sukai itu.”
Marilah saling hormat menghormati pilihan masing-masing menuju pilpres yang sangat seru dan menggairahkan ini sambil menyebarkan sikap optimis bahwa sesudah hasil pemilu 2024 ditetapkan, keadaan hinggar-bingar kontestasi politik yang tidak lain hanyalah merupakan dinamika permainan catur kekuasaan duniawi belaka ini, pada waktunya akan reda, ketegangan akan pulih, dan kehidupan bersama kita sebagai bangsa dan negara akan berjalan damai dan sukses menuju masa depan Indonesia yang semakin cemerlang.
Di bagian lain, Prof. Jimly juga menguraikan, kalau kita mencoba membaca dinamika suara hati masyarakat yang berkembang, dengan menggunakan kacamata langit, suara-suara hati yang berkembang luas di kampus-kampus perguruan tinggi, ada tokoh sangat senior, harus diakui adanya, harus dihormati segala niat baiknya, dan harus pula sungguh-sungguh diresapi dan diserap maknanya untuk kebaikan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, beberapa hari lagi menjelang pemungutan suara pemilihan presiden, tidak dapat dicegah munculnya penilaian dari sudut pandang yang berbeda-beda dalam dinamika emosi masyarakat luas, sehingga berkembang 5 golongan warga yang semakin mendekati hari pemilu, semakin emosional sikapnya. Yang membenci satu paslon semakin meningkat kebenciannya, yang memuja paslon yang lainnya semakin meningkat pula pujaan dan pujiannya kepada paslon kesayangannya.
Semua merasa benar sendiri, dan orang yang berbeda sudah pasti salah. Kelima kelompok, kubu 01, 02, 03, 04, dan 00. Selain kubu 01, 02, dan 03, ada pula kubu 00 atau golongan putih (golput). Di samping itu, karena salah satunya dipicu pula oleh pengumuman berbagai hasil lembaga-lembaga survei yang belum tentu 100% menggambarkan hasil pemilu yang resmi dan yang sebenarnya, telah muncul pula kubu baru, yaitu kubu 04, asal bukan 02.
Semua kaum intelektual di kampus-kampus dan tokoh-tokoh senior yang berusaha memperlihatkan sikap objektif, netral, dan tidak berpihak, harus melihat dan juga mengakui adanya kenyataan dan berkembangnya kelompok 04 ini dalam dinamika menuju hari pemungutan suara.
Karena itu, setiap ekspresi sikap negatif yang ditujukan kepada pemerintah, kepada Presiden Joko Widodo sebagai pribadi, dan kepada salah satu kubu paslon melalui berbagai bentuk narasi, mudah dipersepsi sebagai upaya mendukung salah satu kubu, termasuk mendukung kubu 04, asal bukan 02 tersebut. Masalah ini sulit untuk tidak dianggap serius, karena digunakannya sarana pendidikan di kampus-kampus untuk melakukan kampanye negatif terhadap salah satu paslon, yang tegas dilarang menurut undang-undang.
Larangan kampanye di rumah ibadah, di lingkungan fasilitas pemerintah, dan di lembaga-lembaga pendidikan, bukan saja untuk kampanye positif, tetapi juga kampanye negatif, dan apalagi kampanye hitam. Karenanya, para guru besar yang tampil aktif bergerak untuk berunjuk rasa di kampus-kampus harus siap menerima kenyataan, tindakan mereka dianggap tidak netral dan berpihak kepada salah satu paslon, bukan sungguh-sungguh mencerminkan suara batin kebangsaan atau suara hati nurani rakyat (volksgeist). Apalagi, ternyata pula ada beberapa guru besar yang sejak sebelumnya terbukti memiliki afiliasi personal atau terbukti memiliki preferensi politik kepada salah 1 parpol atau paslon.
imbcnews/diolah/