Ibadah haji merupakan rukun kelima dalam ajaran Islam, yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Haji diwajibkan hanya sekali sepanjang hidup manusia sebagaimana hal itu dicontohkan secara konkret oleh Rasulullah SAW.
Bagi masyarakat Jakarta khususnya orang Betawi, ibadah haji merupakan ibadah yang sangat penting, karena lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Karena itu, signifikansi haji bukan terletak pada dimensi kuantitas, tapi pada aspek intensitas manusia dalam berdialog dengan Allah serta kemampuan menangkap makna dan nilainya yang perlu diaktualisasikan terus-menerus sepanjang hidup.
Animo masyarakat Jakarta termasuk orang Betawi untuk berangkat ke Tanah Suci juga sangat tinggi, namun calon jamaah haji harus menunggu lama untuk bisa berangkat. Pada tahun 2024 ini, masyarakat Jakarta yang berangkat haji, menurut data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta, jamaah haji reguler berjumlah 8.148 jamaah dalam 21 kelompok terbang (kloter). Mereka berangkat ke Tanah Suci dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng setelah menginap di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur. Sebagian lagi ada yang ke Tanah Suci melalui jamaah haji khusus, ada juga haji furoda.
Menurut tokoh Jakarta yang juga Ketua Pengurus Wilayah Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) DKI Jakarta H. Biem Benjamin, masyarakat Jakarta khususnya orang Betawi masih menjaga nilai-nilai kearifan lokal di tengah arus kota Jakarta yang metropolitan. Beragam tradisi dari melepas kepergian orang yang akan pergi haji hingga penyambutan kepulangan mereka semarak dilakukan sanak saudara dan para tetangga.
Sebelum berangkat haji misalnya. Sanak-saudara serta tetangga diundang untuk menggelar acara tasyakuran atau walimatussafar. Ada maulidan, tahlilan, mendengarkan ceramah ibadah haji dan makan bersama. Para tamu memberikan bekal berupa uang yang dapat digunakan sebagai bekal maupun ditinggalkan untuk kebutuhan di rumah.
Keluarga atau orang-orang di kampung sudah memaafkan dan mengikhlaskan kepergiannya layaknya kepergian jenazah. Itu sebabnya orang Betawi melepas keberangkatan beribadah haji dengan ekspresi kepasrahan dan suasana yang sakral.
Dahulu, perjalanan ke Tanah Suci biasa dilakukan menggunakan kapal laut. Oleh karena itu dibutuhkan waktu hingga enam bulan. Tak ayal, jika kebanyakan orang Betawi menganggap perjalanan hidup dan mati. Setelah dilepas dengan pembacaan shalawat, diadzankan dan diiqomatkan, sanak keluarga hanya bisa pasrah.
Perlengkapan yang dibawa ke Tanah Suci pun tak tanggung-tanggung. Dari cobek lengkap dengan isinya, ikan gabus kering atau dendeng hingga uang receh untuk kerokan.
Tradisi khas saat berhaji dalam asyarakat Betawi lainnya yakni menitipkan pas foto kepada orang yang akan berangkat haji. Tak asal titip. Tradisi ini sekaligus memberi pesan bahwa orang dalam foto tersebut minta didoakan di Tanah Suci agar pada tahun-tahun berikutnya bisa menyusul.
“Namun sekarang lebih simpel, karena pergi haji dengan pesawat hanya sembilan jam sudah tiba di Arab. Masa tinggal jamaah juga tidak selama haji masa dahulu,” ujar putra dari seniman legenda Benjamin S. ini.
Selain menunaikan rukun Islam, ibadah haji bagi masyarakat di Tanah Air termasuk orang Betawi, memiliki dimensi sosial, seperti penggunaan gelar ‘haji’ atau ‘hajjah’. “Orang Betawi sangat hormat terhadap para haji. Namun sayangnya, ada juga yang pulang haji tapi perilakunya kurang baik. Ini mencederai nilai haji,” ujar Biem yang pernah menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI saat bincang-bincang dengan penulis, baru-baru ini.
Dalam buku “Jakarta Islamic Center dari Ufuk Timur yang Cemerlang”
cetakan pertama, Maret 2003 menyebutkan kemunculan ide membubarkan lokasi pelacuran Kramat Tunggak dan mengubahnya dengan mendirikan Jakarta Islamic Center saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu menunaikan ibadah haji.
KH Imam Turmuzi, pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat mengutip hadis Nabi, “Hajjul mabruuru laisa lahu jazaa-un illal jannah”. Artinya, haji yang mabrur tiada balasannya selain Surga. Lalu, ada pula “Nabi SAW ditanya, “Amal apa saja yang paling utama?” Beliau berkata, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dikatakan, “Kemudian apa?” Nabi berkata, “Jihad di jalan Allah.” Dikatakan lagi, “Kemudian apa?” Nabi berkata, “Haji yang mabrur!” (Muttafaq ‘Alaihi).
Haji mabrur adalah haji yang baik, haji yang berhasil, haji yang sesuai dengan tujuan apa seseorang diperintahkan untuk berhaji. Haji yang mengembalikan hamba kepada kesucian. “Barang siapa berhaji karena Allah tidak rafats dan tidak fusuq maka ia kembali suci dari dosa seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya.” (HR Bukhari-Muslim). Beriman, patuh kepada perintah Allah, serta berakhlak yang lebih baik dibanding sebelum haji.
Secara teoritis para haji dan hajjah yang kembali dari Tanah Sucispiritualitasnya telah mencapai salah satu tahapan, di dalam istilah tasawuf disebut maqam, lebih tinggi, yang dapat berkelanjutan pada masa-masa pascaibadah haji. Haji mabrur merupakan dambaan setiap muslimyang menunaikan ibadah haji, namun haji mabrur selain dituntut lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, juga diwujudkan dengan memperbanyak amal saleh dalam dimensi sosial, menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Secara substansial, haji merupakan perjalanan napak tilas terhadapmonoteisme Ibrahim AS yang kemudian diaktualisasikan kembali oleh Nabi Muhammad SAW. Ibrahim adalah bapak monoteisme yang menegaskanbahwa tauhid adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri karena kebenaran akhirnya hanya satu. Jika kebenaran hanya satu, tentu Tuhanpun harus esa. Ini pada satu pihak. Pada pihak lain, monoteisme merepresentasikan pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Keesaan Tuhan meniscayakan adanya kemanusiaan yang tunggal, yaitu kesederajatan umat manusia.
Ritual haji pada prinsipnya merupakan simbol yang bisa mengantarkan manusia untuk mengingat kembali tentang intensitas perjuangan Ibrahim yang didukung penuh keluarganya dalam mengangkat monoteisme tersebut. Ritual dalam sa’i misalnya, menggambarkan tentang usaha tak kenal lelah Siti Hajar untuk mempertahankan kehidupan dalam rangka mendampingi serta mendukung perjuangan Ibrahim dalam pencarian kebenaran yang berujung pada monoteisme. Sedangkan ibadah kurbanmenjadi simbol tentang keyakinan dan ketabahan Ismail dalam mengemban kebenaran ajaran tersebut.
Salah satu inti monoteisme Ibrahim yang diabadikan dalam haji adalah persamaan dan kesederajatan manusia serta keharusan manusia untuk menghormati perbedaan. Khotbah Rasulullah pada haji wada menggambarkan secara utuh tentang nilai-nilai universal tersebut.
Dalam haji ini, Nabi secara tegas menyatakan tentang keharusan manusia menghormati jiwa dan harta benda manusia yang lain. Nilai-nilai semacam itu diabadikan dalam ritual ihram yang mewajibkan mereka yang sedang berhaji untuk berpakaian sama sebagai lambang kesetaraan seluruh manusia tanpa harus melihat latar belakang etnis, suku, maupun status ekonomi mereka yang berbeda.
Melalui pelaksanaan yang sungguh-sungguh terhadap ibadah-ibadah haji, umat Islam diharapkan mampu menangkap pesan-pesan perenial tersebut dan melaksanakannya secara utuh serta istikamah sepulang haji. Mereka diharapkan mampu menjadi manusia kafahyang bisa meniru sifat-sifat Allah Yang Mahabijaksana, adil, damai, dan kasih.
Pada saat yang sama, mereka dituntut meneladani Rasulullah SAW yang terkenal dengan kejujuran, kepengasihan, serta kesederhanaannya,selain mencontoh pula keberadaannya sebagai rahmat bagi sekalian alam semesta. Jadi, melalui haji itu, mereka dituntut menemukan ajaran-ajaran Tuhan yang sangat menekankan pada pengembangan solidaritas sosial, keadilan, kesederajatan, perdamaian, serta ajaran sejenis yang signifikansinya sebanding dengan ajaran tentang ketauhidan.
Alangkah indahnya seandainya setiap orang yang berhaji mampu menjadikan hajinya sebagai wahana untuk dialog dengan Allah. Melalui dialog itu, dia mau mempertanyakan keberagamaannya yang selama ini dijalani; kekurangan dan keterbatasannya. Jika dia tulus mau mengakui kekurangannya itu, Sang Pencipta pasti akan menunjukkannya ke jalan yang lurus, kepada kehidupan yang lebih sempurna.
Konkretnya, seandainya mereka semua mampu menangkap substansi nilai ibadah haji serta bertekad mengembangkan nilai-nilai tersebut, tentunya sekembali ke tanah air mereka akan menjadikan keadilan, persamaan, dan solidaritas sosial sebagai pijakan kukuh dalam merengkuh kehidupan.
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasaruddin Umar, udealnya, seseorang yang telah menunaikan ibadah haji mampu menjadi agen perubahan sosial kehidupan di tanah airnya masing-masing menuju terciptanya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kalau kita tarik dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia kini,penegasan Nabi tersebut bisa menjadi latar sosiologis untuk menganalisis berbagai persoalan kebangsaan seperti demokratisasi yang sangat menekankan aspek egalitarianisme atau masalah kian tidak terbendungnya jumlah pengangguran dan kemiskinan serta berbagai persoalan lainnya yang proses penyelesaiannya membutuhkan kesetiakawanan di antara sesama anak bangsa. Fenomena yang kini aktual adalah musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir merata di negeri ini. Untuk menyelesaikan masalah yang terakhir ini pun di butuhkan solidaritas sosial atau kesetiakawanan. Begitu pula halnya dengan masalah-masalah kebangsaan lainnya dan seterusnya. Haji adalah satu fenomena sosiologis yang sangat mungkin dapat memberi dorongan terbentuknya solidaritas, kesetiakawanan bagi umat manusia, bahu-membahu dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan di negeri ini.
Untuk itu, jika ibadah haji adalah penting, maka masalah kemanusiaan mesti ditempatkan dalam konteks yang juga penting. Islam sangattidak menoleransi seorang muslim membiarkan seorang Muslim lainnyahidup dalam penderitaan seperti kemiskinan, kelaparan, dan seterusnya. Dalam Islam, orang-orang yang membiarkan kemiskinan dan kelaparan itu adalah mereka yang mendustai agama Tuhan. Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, “Tahukah kamu siapakah orangyang mendustakan agama itu? Mereka itulah orang-orang yang menghardik anak yatim. Mereka tidak memberi perhatian/makanan kepada orang-orang yang miskin. Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalatnya.” (QS Almaun: 1-5).
Firman Tuhan ini memperkuat argumentasi bahwa doktrin teologis haji memiliki muatan yang sama dengan doktrin teologis kemanusiaan universal. Penegasan Tuhan bahwa seorang Muslim yang tidak memberi makan terhadap orang-orang miskin dan menghardik anak yatim sebagai orang yang mendustakan agama adalah satu aksioma teologis bahwasanya Islam sangat menekankan amal saleh sebagai muara dari berbagai bentuk ritualitas.
Layak kita bertanya, apakah hati mereka (orang-orang yang menunaikan ibadah haji itu) bergetar melihat saudara-saudaranya sebangsa bergelimang dalam kemiskinan, kelaparan, dan gizi buruk yang mengancam sebagian masyarakat di negeri ini. Yang pasti, seluruh ibadah dalam Islam, termasuk haji, haruslah dibarengi dengan amal saleh. Karena, tujuan diturunkannya syariat Islam secara fundamental adalah untuk membangun kesejahteraan hidup umat manusia secara universal (rahmatan lil alamin).
Ajaran tauhid dalam konsepsi Nabi Muhammad erat kaitannya dengan perubahan sosial dari tatanan yang ekploitatif menuju tatanan yang berkeadilan. Namun, nampaknya kegagapan, serta kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks yang membuat agama kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial.
Menurut Cendekiawan Muslim Prof Dr Azyumardi Azra, perjalanan menunaikan ibadah haji sering disebut dalam banyak literatur berbahasa Arab sebagai ’rihlah mubarakah’perjalanan penuh berkah. Di masa silam, ketika perjalanan haji menggunakan kapal laut, yang memakan waktu berbulan-bulan, ditambah kondisi di Arab Saudi masih sulit membuat perjalanan haji seolah-olah ’perjalanan terakhir’; orang yang pergi haji seakan-akan tidak akan kembali lagi. Karena itulah, kepergian seseorang naik haji menjadi peristiwa sosial keagamaan yang penuh ’drama’.
Tetapi ketika perjalanan naik haji menggunakan pesawat jet jumbo, yang membuat perjalanan tidak hanya sangat singkat, hanya sekitar sembilan jam saja, maka intensitas ’drama’ itu menjadi sangat berkurang. Ditambah lagi dengan fasilitas fasilitas sejak keberangkatan, di perjalanan, sampai di Hijaz sendiri, perjalanan ibadah haji tidak lagi melibatkan kesusahan, bahkan sebaliknya, kian menyenangkan. Karena itulah perjalanan naik haji dewasa ini cenderung intensitas spiritualnya, dan bahkan bagi sebagian jamaah boleh jadi menjadi semacam ’perjalanan pariwisata’ saja.
”Kecenderungan ini tak berarti tidak sepenuhnya jelek. Tetapi realitas itu seyogyanya membuat ibadah haji dapat tetap bermakna sebagai ibadah, karena tidak ada lagi tarikan-tarikan dan agenda-agenda politik seperti di masa silam. Di sinilah sebenarnya terletak ujian bagi para jamaah haji yang kembali di tanah air, apakah mampu melimpahkan makna dan hikmah ibadah haji yang telah mereka kerjakan ke dalam kehidupan aktual. Kalau tidak, sesuai dengan pengamatan bahwa pergi haji lebih merupakan perjalanan turisme,” kata Azra pada sebuah seminar beberapa waktu lalu.
Adapun cara meraih haji mabrur; Pertama, bertekad kuat untuk mendapatkan predikat mabrur. Tekad ini dibarengi dengan keyakinan akan segala kemurahan Allah SWT. Yakin Allah SWT mengampuni kesalahan dan kelemahan, melihat dan memberi pahala pada langkah baik hamba-Nya, serta menolong hamba yang beriman dari kesulitan yang dihadapinya.
Kedua, beribadah dengan sikap “ihsan”, yakni “An ta’budallaha ka annaka taroohu, fain lam taroohu fainnallah yarooka” (beribadah seperti engkau melihat Allah. Dan jika engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat engkau). Hadirkan Allah dalam setiap tempat dan waktu.
Ketiga, berbuat baik sebanyak-banyaknya selama perjalanan ibadah haji. Bersifat pemberi, mudah menolong, serta mengalah demi kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan.
Keempat, sabar dan banyak bersyukur. Banyak hal yang tak enak atautak terduga yang mesti disikapi dengan shabar. Selain itu, anugerah Allah yang selalu datang selama beribadah haji patut untuk disyukuri.
Kelima, seluruh rangkaian ibadah dijalankan sesuai dengan ilmu manasik yang dituntunkan Rasulullah SAW. Jangan banyak mengada-ada atau semata ikut-ikutan. Ibadah dibarengi dengan penghayatan atas hikmah-hikmah yang dikandung di dalamnya. (Kadar Santoso dari berbagai sumber)