IMBCNews, Bandung | Prof. Dr. T Subarsyah menengarai banyaknya produk hukum di Indonesia lebih “berbau” pesanan pihak asing atau para pemilik modal besar. Hukum asli bangsa Indonesia lebih suka kalau dipinggirkan, dikesampingkan atau justru diinjak-injak bagaikan sampah yang berserakan di pinggir jalan.
Hal itu mengemuka usai Prof. Dr. T. Subarsyah dikukuhkan sebagai Guru Besar tetap, Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, pada Senin (10/7). Menurut Subarsyah, diakui atau tidak, perkembangan hukum di Indonesia sejalan dengan perkembangan sosial politik dan kekuasaan negara, yang pada hakekatnya melegitimasi kekusaan hukum dan pelaksanaanya bersumber dari kekuasaan dan kewenangan yang diatas namakan negara.
“Tidak ada peraturan perundang-undangan yang tidak merepresentasikan kewenagan kekuasaan atas nama negara. Tak heran, jika ada seorang politisi yang bereseloroh, mayoritas anggota dewan inginnya membuat aturan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi semua itu berpulang kepda para ketua partai atau kekuasaan negara,” katanya mencontohkan.
Oleh karenanya, tidak ada cara lain, kita secara bersama-sama menyadarkan kepada para penguasa yang dapat mengatas namakan negara, para pimpinan partai yang sedang lagi berkuasa, untuk kembali melihat secara sadar dan penuh tanggungjawab tentang eksistensi dan substansi kebhinnekaan nilai hukum sebagai sumber hukum.
“Kita perlu menyadari keaneka ragaman hukum di Indonesia tak lepas dari sejarah, perbedaan suku, bahasa, agama, budaya dan ras yang semuanya itu membutuhkan komitmen untuk diakui dan dilindungi tidak untuk diingkari atau dikesampingkan,” katanya.
Menjawab pertanyaan, ia mengatakan, adanya undang-undang No 6 Tahun 2023 Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang banyak membuang energi masyarakat itu. “Menurut saya juga lebih kontennya lebih mengedepankan para pemilik modal, utamanya dalam hal adanya ketentuan alih daya outsourcing atau penggantian para pekerja pasca Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” ungkapnya.
“UU Omnibus Law, jika dilihat dari prosesnya pernah dimentahkan oleh Mahkamah konstititusi, jika dilihat dari materinya, banyak digugat oleh para serikat pekerja. Dengan demikian, bisa saja dimaknai UU itu syarat adanya kepentingan asing dan mengabaikan nilai-nilai dalam Pancasila,” katanya.
Bersyukur
Di tempat sama, Dr. Anang Usman, selaku Ketua Alumni Angkatan ke 2 Program Doktor Ilmu Hukum Unpas menambahkan, ikut bersyukur dan berbahagia karena Unpas akhirnya banyak melahirkan para guru besar asli dari Unpas. Selama ini Unpas paling banyak merekrut para guru besar, tetapi mereka lebih banyak dilahirkan dari kampus lain, apakah ITB atau Unpad.
Saat ini tampaknya ketua Paguyuban Pasundan gigih memperjuangkan kelahiran Guru Besar dari anak kandung dosen dari Unpas. Kalau tak salah, kata Dr. Anang Usman, saat ini jumlah guru besar di Unpas sudah mencapai 31 guru besar dan akan menyusul lagi 2 orang dalam waktu dekat. Dengan demikian, Unpas sebagai perguruan tinggi swasta di Jawa Barat yang paling limbung guru besarnya.
Anang juga menambahkan, para guru besar ilmu hukum utamanya dari Unpas, dapat mewujudkan pembuatan hukum yang bersumber dari akar rumput bangsa Indonesia,yakni Pancasila, bukan atas dasar pesanan dari pihak asing dan pemilik modal. Jika itu dibiarkan, tinggal tunggu bahwa bangsa ini cepat atau lambat akan terjadi dissosial yang justru akan kembali pada titik nol kembali. (plp/tys-imbcnews: Unpas)