IMBCNews, Jakarta | Buku bertajuk Oligarki dan Totalitarianisme Baru, tidak hanya mengupas konsep, hakikat oligarki, dan totalitarianisme klasik. Akan tetapi juga, buku karya Prof Dr Jimly Asshiddiqie MH ini menyuguhkan insight tentang totalitarianisme baru dan variannya; Sehingga, pada konten buku ini pun mengingatkan kalangan akademisi dan kaum intelektual yang juga politisi mengenai bahayanya oligarki-totalitarianisme karena berpotensi merusak demokrasi.
Oligarki dan Totalitarianisme Baru, salah satu buku yang membawa isu-isu politik kontemporer ke hadapan publik bil khusus di Indonesia. Dalam mengembangkan pandangan yang tertuang di buku tersebut, Jimly School of Law and Government (JSLG) gawe bareng dengan Fakultas Hukum Universitas Semarang ( FH USM) menghelat kegiatan kajian, pada Jumat, 19 Januari 2024.
Acara digelar daring, mendiskusikan secara mendalam hal berkaitan dengan fenomena politik modern yang semakin berkembang, termasuk fenomena politik dewasa ini di Indonesia yang cenderung mengarah kepada gejala oligarki dan totaliter gaya baru.
Setelah diawali kata sambutan Dekan FH UMS Dr Amri Panahatan Sihotang, SS., SH., M Hum., selanjutnya Prof Jimly menjelaskan tentang pentingnya mendeteksi dan mencegah penumpukan kekuasaan yang berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Ringkasan buku “Oligarki dan Totalitarianisme Baru” sebagaimana dikemukakan penulisnya, antara lain mengungkap bahwa, seiring dengan perkembangan zaman muncul gejala baru yang perlu mendapat perhatian; Yaitu, kembalinya kekuasaan hanya pada satu genggaman tangan. “Hal ini yang harus dicegah bersama,” cetus Jimly singkat.
Ungkapan sejalan dengan arahan Jimly, ketika narasumber Haris Azhar SH, MA. (Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) menjelaskan, bahwa konten buku karya Prof Jimly mengulas konsep Montesquieu tentang trias politica telah berkembang menjadi konsep quadro politica, yang menambahkan media sebagai kekuatan keempat kekuasaan dalam demokrasi.
Lain itu, Azhar menyinggung dinamika politik kekuasaan dewasa ini bahwa pemerintah punya kecenderungan menjadikan Proyek Strategis Nasional (PSN) bagian siasat untuk menumbuh-kembangkan oligarki gaya baru.
“Mereka yang mendapatkan program PSN adalah orang-orang yang dekat kepada pusat kekuasaan, temasuk para menteri pembantu presiden,” katanya.
Ia tambahkan, PSN itu hanya lah siasat untuk mendapatkan keuntungan secara cepat dan murah, karena yang gelap pun cenderung dilegalkan oleh pemerintah melalui kebijakannya.
Menurut Azhar salah satu pengaturan mengenai PSN berada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang jumlahnya tergantung kepentingan para pengambil kebijakan. Itu, karena naskah akademiknya gelap.
“PSN itu mudah digeser ke sana dan ke mari. Maka, tergatung dari kepentingan mereka, karena naskah akademiknya gelap,” kata Azhar menegaskan. (Asy: jslg-fh_usm/zoom)