IMBC NEWS, Jakarta | Ketua Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) Eros Djarot Eros Djarot membesuk Ketua Umum Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) SK Budiarjo, salah satu korban kriminalisasi kasus tanah, di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis (12/1).
Eros Djarot pun mengungkap kondisi terkini Budi. “Baik, dia nggak, pokoknya tegas, jadi artinya apa yang diperjuangkan itu sebuah kebenaran, jadi nggak, nangis nggak sedih,” kata Eros kepada wartawan di Rutan Salemba.
Penahanan yang dialami Budi ini membuat Eros kebingungan. Sebab, Budi hanyalah memperjuangkan hak miliknya, yakni tanah, namun malah dikriminalisasi.
“Yang menghabiskan uang negara triliunan itu berkeliaran sementara yang memperjuangkan haknya dan memperjuangkan kebenaran itu malah cepet sekali dimasukin, heran,” katanya.
Dia pun mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama melawan kriminalisasi karena kasus tanah yang terjadi di Indonesia.
“Mari kita bergandengan tangan, kalau mafia ini tidak kita lawan secara bersama tidak akan selesai dan saya tidak mau negara ini jadi negara mafia,” ucap Eros.
Di sisi lain, Eros juga mengungkapkan, akan bertemu langsung dengan Menkopolhukam, Mahfud MD, guna membahas seluruh masalah mafia yang terjadi.
“Ya semuanya lah, kan mafia itu bukan hanya di tanah aja, di hampir semua lini, sehingga nanti kita coba bicarakan secara sistematik ya,” tutur Eros Djarot yang juga budayawan dan politisi.
Sementara itu pengacara Budiarjo, Muhammad Yahya Rasyid SH, MH mengungkapkan, kasus yang menimpa kliennya ini bermula dari 2006 silam. Awalnya, Budi membeli sebidang tanah di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat.
Tanah tersebut telah dibayar lunas oleh Budi. Dia pun telah mendapatkan girik sebagai tanda kepemilikan.
“Tiba-tiba dari pihak Agung Sedayu itu dia merasa bahwa tanah itu masuk di sertifikatnya nomor 633 itu, sehingga berperkara lah dia dengan penjual. Bukan Pak Budi ya tapi penjual, dan penjualnya menang,” ungkap Yahya.
Urusan pengadilan belum selesai. Perusahaan tersebut kemudian tetap menguasai lahan milik Budi. Bahkan, kontainer yang ditempatkan Budi di tanah itu sudah tak ada lagi dan Budi mendapat kekerasan.
Hal tersebut lantas dilaporkan Budi ke Polres Metro Jakarta Barat dan Polda Metro Jaya. Hanya saja, laporan itu tak kunjung ditindaklanjuti.
“Begitu dipukul, dia lapor polisi, ketika lapor polisi di Polres Jakbar, diproses penyelidikan dan penyidikan. Kemudian ‘stuck’ dia punya laporan, karena alasannya hilang berkasnya. Di Polda juga tidak jalan,” jelas Yahya.
“Akhirnya diadukan di Bareskrim akhirnya digelar, tapi tidak ada tindak lanjutnya, tiba-tiba dikeluarkan SP3,” sambung dia.
Surat girik yang sempat dijadikan bukti dalam laporan itu pun dikembalikan polisi ke Budi. Dia pun lantas membuatkan sertifikat tanah miliknya itu.
Usai sertifikat itu terbit, Budi kemudian dipolisikan oleh perusahaan tersebut dengan tuduhan pemalsuan dokumen pada sekitar 2016 silam.
“Pak Budi ini sama sekali tidak ada berurusan dengan pemalsuan menggunakan surat palsu, ya sesuai Pasal 266, 263, itu kan tidak ada. Jadi unsur deliknya itu sama sekali tidak ada. Justru dia yang korban dan ini sudah beberapa kali dijembatani ya dimediasi. Dan surat-suratnya pak Budi sudah digelar di Menkopolhukam, ternyata terdaftar, sah, bener semua surat-suratnya,” tutur Yahya.
Atas laporan itu, Budi langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun langsung menempuh jalur praperadilan.
Hanya saja, Budi malah dijemput paksa lantaran dinilai tak menghadiri penyerahan tersangka dan barang bukti ke kejaksaan atau tahap dua.
“Ada panggilan tahap 2 tapi nggak kita hadiri, karena kan dilakukan upaya hukum tidak perlu untuk tahap 2. Kita praperadilan kan, Polda dipanggil, Kejati dipanggil tidak menghargai peradilan. Melecehkan peradilan, tidak hadir, malah dia jemput paksa,” katanya.
Hingga saat ini, Budi masih mendekam di Rutan Salemba atas perkara tersebut. Pihaknya pun telah mencoba mengadukan hal tersebut ke Menkopolhukam, namun belum mendapat tindak lanjut.
“Kita minta ke Menkopolhukam itu untuk meminta bantuan hukum supaya dilakukan penangguhan penahanan, tapi sampai sekarang belum ada tindaklanjutnya,” pungkas Yahya Rasyid. (Kadar Santoso)