IMBCNews, Jakarta | Lembaga Swadaya Masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja disahkan Pemerintah Pusat pada 30 Desember 2022 menjadi kado terburuk dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai negara hukum demokratis.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden telah bertentangan dan mengkhianati amanat konstitusi UUD’45.
“Bagi masyarakat bahari, putusan MK yang menyatakan bahwa UU CK inkonstitusional bersyarat menjadi tanda bahwa pemerintah telah melakukan kesalahan fatal karena UU CK diciptakan tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat bahari,” tegas Susan.
Menurut KIARA, terdapat kecacatan Perppu Cipta Kerja baik secara prosedur Pembentukan Perppu maupun secara substansial.
Secara substansial kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat bahari, yaitu Pertama, Perppu Cipta Kerja tidak menjawab perbaikan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Kedua, Perppu Cipta Kerja tidak mengutamakan perlindungan kepada hak-hak masyarakat bahari sebagaimana dimandatkan dalam Putusan MK No.3 Tahun 2010.
Ketiga, Perppu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil. Dalam UU Perikanan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.
Keempat, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang menjadikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang disetiap provinsi dan dapat mengubah peruntukan ruang pesisir dan pulau-pulau kecil atas nama kebijakan strategis Nasional.
Kelima, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan karpet merah kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Hal ini tentu dapat berdampak pada kembalinya privatisasi pulau-pulau kecil dengan dalih investasi PMA.
Keenam, Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 51 dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah pusat untuk mengubah status zona inti dalam kawasan konservasi.
Kawasan konservasi akan dibayangi ancaman pengubahan status zona untuk berbagai kepentingan eksploitatif, tentu akan berdampak terhadap keberlanjutan kawasan konservasi yang terjaganya keanekaragaman biodiversitas yang terdapat di dalamnya.
Ketujuh, Perppu Cipta Kerja akan memaksa setiap orang yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016.
Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar.
Serta kedelapan, Perppu Cipta Kerja kembali memberikan karpet merah untuk masuknya investasi perikanan asing sehingga dapat beroperasi di wilayah perairan Indonesia.
“Perppu ini secara jelas dan terang-terangan hanya akan memberikan kepastian hukum kepada investor, baik domestik maupun asing,” katanya.