IMBCNews | Kelompok yang menculik pilot Selandia Baru Philip Mehrtens (37 tahun). Penculikan setelah dia mendaratkan pesawat kecilnya di Nduga pada 7 Februari yang lalu.
Disinyalir adalah kelompok Inagus Kogoya yang melakukan penculikan. Pri baru berusia 24 tahun ini berada di garis depan pemberontakan menuntut kemerdekaan Papua, wilayah yang kaya sumber daya itu, sebagai imbalan atas pembebasan Mehrtens.
Peristiwa ini merupakan rangkaian aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang selama ini dikenal dengan sebutan sparatis. Selama bertahun-tahun, separatis melakukan serangan yang memakan korban tewas.
Kogoya dan kelompoknya, telah membuka babak baru berdarah, pada 2018. Ketika, mereka menyerang sebuah proyek pembangunan jalan yang menewaskan 21 pekerja di Nduga, sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Papua Pegunungan, dengan ibu kotanya di distrik Kenyam.
Pemerintah menanggapi aksi Kogoya dan kelomponya, dengan melakukan operasi keamanan di wilayah Papua Pegunungan itu. Pemerintah bersumpah untuk membekuk pemberontak dengan menerjunkan ratusan pasukan tambahan.
Kekerasan memaksa ribuan penduduk desa mengungsi, memicu krisis kemanusiaan di mana lebih dari 160 orang meninggal karena sakit dan kelaparan. Namun di dataran tinggi Papua yang terjal, aparat keamanan gagal melacak keberadaan Kogoya dan anak buahnya.
Media Sosial
Kelompok pemberontak yang pernah mengacungkan busur dan anak panah kini semakin banyak terlihat membawa senjata. Termasuk jenis senapan otomatis yang disita dalam penggerebekan pasukan keamanan atau dibeli di pasar gelap.
Laporan IPAC pada Juli membeberkan bahwa mereka lebih sering melakukan penyerangan yang dianggap lebih mematikan. Seperti dilansir VOA Indonesia atas laporan IPAC, lima puluh dua anggota pasukan keamanan dan 34 anggota tewas antara 2018 dan 2021.
Para pemberontak juga memanfaatkan komunikasi modern. Cahyo Pamungkas, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa kelompok separatis menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan mereka.
“Media sosial adalah alat perlawanan untuk menyampaikan cerita dari Papua karena media nasional didominasi oleh perspektif dari Jakarta,” katanya.
“Mereka benar-benar paham media,” kata Anwar dari IPAC, “Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bukan kelompok pemberontak, tetapi memiliki beberapa struktur, setidaknya di tingkat lokal.”
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan pilot Selandia Baru diperlakukan dengan baik seperti “keluarga”.
“Ini adalah idenya tapi kami bertanggung jawab untuk mengendalikan situasi,” kata Sambon melalui telepon, merujuk pada penangkapan pilot oleh Kogoya.
Sambon bersumpah akan lebih banyak melakukan kekerasan kecuali tuntutan separatis dipenuhi. Ia menegaskan TPNPB merencanakan “revolusi total” pada 2025 dengan kehancuran dan pertumpahan darah yang diprediksi akan meluas.
Pemerintah tidak menanggapi permintaan komentar tentang ancaman eskalasi pemberontak.
Beberapa aktivis HAM mengkritik tanggapan pemerintah terhadap pemberontakan tersebut.
Proyek pengadaan satelit yang akan membantu militer menemukan lokasi Kogoya, diduga menjadi sarana korupsi, kata seorang anggota DPR kepada Reuters.
Ada juga pertanyaan tentang tanggung jawab atas kebijakan pemerintah yang mengatakan melakukan “pendekatan yang lebih lembut” padahal pihak militer cenderung mengerahkan lebih banyak pasukan untuk menanggapi sejumlah serangan.
“Tidak sepenuhnya di bawah kendali pemerintah sipil di sana,” kata Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung yang menjadi aktivis hak asasi manusia.
“(Papua) menjadi wilayah militer dan itu tidak membantu,” tukasnya. (Sumber: VOA Indonesia-ah/rs)