IMBCNEWS Jakarta, – Salah satu fitnah paling besar tentang syiah, antara lain terkait isu nikah mut’ah. Dalam fitnah yang sering disebarluaskan, dikatakan, syiah telah menghalalkan zina, karena dianggap nikah mut’ah sama dengan zina.
Padahal mereka yang memfitnah itu juga mengetahui, dalam keyakinan semua mazhab, dimasa Rasulullah Saww pernah menghalalkan nikah mut’ah. Nah, logika sederhananya, jika dulu nikah mut’ah pernah dihalalkan apakah mungkin nikah mut’ah itu sama dengan zina ? Bahkan ada fitnah zina dengan istri orang lain.
Tanpa disadari, tudingan itu itu sama saja dengan menuduh Rasulullah Saww pernah membolehkan zina. Itu benar-benar sama saja melakukan fitnah yang sangat besar pada Rasulullah saww, yang mestinya tidak perlu terjadi, demikian pendapat yang dilansir Antara, dalam laman Kharkhas, pada Senin di Jakarta, Senin.
Laman yang bersumber dari Islam SyI’ah.com lebih jauh menyebutkan, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ kedua-nya berkata, “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah (utusan) Rasulullah Saw, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.’ (Imam Al-Bukhari, hadits 5115-7, dan kitab Al-Nikah, bab Nahy Rasulillah saw).
Itulah fakta sejarah yang diungkapkan dalam kitab-kitab Sunni, pada masa Nabi saww (hingga masa kekhalifahan Abu bakar), nikah mut’ah dilakukan oleh para sahabat nabi. Pernikahan mut’ah ini mulai dilarang pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana beliau berpidato di hadapan publik.
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” (Muhammad Fakhr Al-Din Al-Razi, dan QS. Al-Nisa’ [4]:24, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1981).
Mengapa syiah menghalalkan nikah mut’ah? Syiah berpandangan, apa yang sudah ditetapkan oleh AlQuran maka hukumnya tidak boleh berubah (diubah) oleh siapapun, sampai hari kiamat.
AlQuran menetapkan dalam surat An-Nisa ayat 24: Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban …. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 24)
AlQuran adalah sumber hukum tertinggi dan karenanya tidak dapat dihapuskan dengan hukum yang lebih rendah (misalnya oleh ijtihad sahabat atau fatwa khalifah). Itulah sikap syiah terhadap nikah mut’ah. Argumennya adalah hukum yang ditetapkan Allah swt dan Rasulullah saww tidak boleh diubah oleh manusia (sekalipun oleh fatwa khalifah).
Hukum nikah mut’ah ini hanya “Boleh”. Bukan “mustahab (sunnah)” apalagi “wajib”, seperti yang sering ditudingkan kepada syiah.
Karenanya sekalipun syiah menghalalkan nikah mut’ah, bukan berarti otomatis semua orang syiah mengamalkannya. Ini lebih ke persoalan menegakkan posisi hukum dalam Islam, karena hukum harus mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia.
Dan lagi pula, nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Ada syarat-syarat dan ketentuannya seperti halnya dalam nikah daim (permanen), seperti harus ada izin dari wali (ayah), harus ada akad dan mahar, ketika terjadi perceraian ataupun batasan waktu pernikahan sudah berakhir, masa iddah nya adalah selama 2 kali siklus haid, dsb. Oleh karenanya, kalalauh nikmat mut;ah dilakaukan harus terpenuhinya syarat yang ditentukan itu.
IMBCnews/sumber Islam syah, diolah/***