IMBCNEWS Jakarta | – Terminal LRT yang ada di Harjamukti kawasan Cibubur secara perlahan kian sepi tidak seperti saat ada harga promosi Rp5.000 per sekali naik penuh sesak. Dengan dinaikan harga normal menurut penilaian keekonomian PT KAI menjadi Rp21.800 dari terminal Harjamukti sampai Duku Atas Jl. Sudirman, para penumpang tak lagi tertarik karena dinilai harganya mahal.
Seorang pekerja outshorcing (alih daya) sebut saja Bejo, dengan gaji Rp4.300 per bulan, akan habis hanya untuk transportasi saja, karena untuk menuju terminal Harjamukti butuh naik ojeg karena belum ada angkot yang menghubungkan ke stasiun tersebut, katanya di Jakarta Kamis pekna ini, seraya menambahkan dengan harga itu tiap hari saya harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 44.000,- plus gojek Rp30.000 pp. Artinya gaji yang sesuai UMP DKI itu akan habis untuk biaya transport saja atau sekitarRp1.500.000,- per bulan.
Oleh karena itu saya kembali naik Bus Way, meskipun waktunya agak lama, tetapi saya masih bisa menyisihkan gaji untuk membayar kontrakan dan membiayai anak sekolah. Urusan makan, kita serahkan saja yang punya hidup, katanya tampak pasrah.
Pemerintah membangun Light Rail Transit (LRT) filosofinya dapat mengakut penumpang dengan lebih cepat, nyaman dan murah. Tetapi hal itu nampaknya gagal, karena ketiga elemen itu belum dapat terpenuhi secara optimal, karena LRT dengan jarak yang kurang dari 50 km membutuhkan waktu lebih dari 50 menit, dan harga tiket relatif mahal, sulit dijangka oleh masyarakat bawah. Hal itu mestinya menjadi analisa, masukan dan pembelajaran pemerintah yang membuat proyek dengan biaya mahal.
Sebelumnya Investortrus.id juga melansir, penumpang Light Rail Transit (LRT) Jabodebek terlihat sepi setelah diberlakukan tarif normal mulai 1 Oktober 2023. Selain tarifnya naik menjadi maksimal Rp 21.800 dari Stasiun Harjamukti Depok ke Dukuh Atas Jakarta, dari sebelumnya flat Rp 5.000, jalur LRT ini justru dibangun jauh dari pusat kawasan permukiman yang seharusnya dilayani. Penyimpangan itu dinilai karena pembangunan diserahkan kepada korporasi yakni PT Adhi Karya (Persero) Tbk yang berorientasi kepada profit, sehingga jalur dibangun untuk kepentingan pengembangan proyek properti kelompok usahanya yang berkonsep transit oriented development (TOD).
Padahal, berbagai penelitian menegaskan bahwa sistem transportasi berbasis rel dengan kereta ringan ini secara prinsip diterapkan untuk koridor antarkota dengan permintaan transit yang tinggi. Penelitian Institute of Transportation Studies University of California, Berkeley, menyebut pembangunan LRT harus didasarkan pertimbangan penting kepadatan pekerjaan dan populasi, guna mengimbangi investasi awal dan biaya operasional berkelanjutan angkutan massal perkotaan itu.
Sistem kereta ringan ini memerlukan kepadatan sekitar 30 orang per gross acre atau 7.413 per km2 di sekitar stasiun. Kepadatan tersebut jelas tidak memenuhi untuk ujung Stasiun LRT Jabodebek dari arah Jakarta ke selatan yakni di Stasiun Harjamukti, Kota Depok, Jawa Barat. Pasalnya, stasiun ini justru berada di daerah yang jauh dari permukiman.
Stasiun Harjamukti menempel jalur tol Jagorawi dan didedikasikan untuk proyek properti TOD LRT City Cibubur, dengan rencana nanti total dibangun 8 menara apartemen secara bertahap. Namun demikian, proyek ini masih dalam tahap perencanaan awal dan pembangunan apartemen pertama pun dijadwalkan baru selesai tahun 2026.
Ada sejumlah indikasi bahwa sejatinya LRT yang berbekal perpres ini bukan untuk solusi mengatasi polusi parah dan kemacetan wilayah metropolitan Jakarta, sebagaimana digaungkan pemerintah. Pasalnya, pelaksanaan pembangunannya tidak mengakomodasi kepentingan strategis mendorong berpindahnya komuter dari penggunaan kendaraan pribadi ke sistem transportasi massal yang ramah lingkungan tersebut.
imbcnews/investortrust/diolah/