Anwar Abbas*
Seorang laki-laki di Banyuwangi dijebloskan ke penjara gara-gara mencuri tiga ekor ayam milik tetangganya. Oleh pengadilan di bulan november 2023 yang bersangkutan dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.
Di Jembrana Pengadilan Negeri Negara telah mengadili seorang oknum polisi yang bertugas di satuan Polres Jembrana. karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian dua ekor sapi milik warga di desa Berangbang, sang polisi telah dijatuhi hukuman oleh hakim 4 bulan penjara.
Pada bulan juli 2024 majelis hakim juga telah mengadili kasus korupsi pembangunan jalan Tol Jakarta-Cikampek dua (tol layang MBZ). Oleh hakim dari 4 orang terdakwa, ada yang dijatuhi hukuman 3 tahun dan 4 tahun penjara.
Dari tiga kasus ini kita melihat masing-masing hakim sudah melaksanakan tugasnya dengan mengadili dan menjatuhkan hukuman terhadap masing-masing pelaku tindak pidana tersebut.
Tetapi yang menjadi pertanyaan kenapa semakin besar nilai material dari tindak pidana yang dilakukannya hukumannya tampak semakin tidak sebanding atau semakin ringan. Dalam kasus pencurian tiga ekor ayam yang nilainya mungkin hanya sekitar Rp150ribu, hukumannya 10 bulan penjara.
Dalam pencurian 2 ekor sapi yang nilainya sekitar Rp50juta hukumannya hanya 4 bulan penjara. Dalam kasus korupsi Tol Layang MBZ kerugian negara sekitar Rp510milyar dengan pelaku 4 orang atau rata-rata Rp127,5miliar/orang, hukumannya per orang hanya antara 3 dan 4 tahun penjara.
Dari tiga kasus ini terlihat, semakin besar nilai yang dia curi atau korup tampak semakin lebih ringan hukumannya. Apalagi kalau kita coba bandingkan dengan kasus penyerobotan lahan negara untuk perkebunan kelapa sawit seluas 37.095 hektare di Riau yang digarap oleh sebuah perusahaan sejak tahun 2003-2022 dimana kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp104,1 triliun yang terdiri dari kerugian keuangan negara senilai Rp4,9triliun dan kerugian perekonomian negara sebanyak Rp99,2triliun.
Oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pemilik perusahaan tersebut tahun 2022 telah divonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda sebesar Rp1miliar dengan subsider 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp2,2triliun dan pembayaran kerugian perekonomian negara sebesar Rp39triliun.
Dari kasus-kasus di atas muncul pertanyaan apakah dunia peradilan kita sudah bisa berbuat adil terhadap para pelaku tindak pidana tersebut? Para ahli hukum tentu akan berbeda pendapat dalam melihatnya.
Tetapi ada kata-kata Bismar Siregar seorang hakim agung (almarhum) yang menarik untuk diperhatikan dimana beliau menyatakan, “dalam menjatuhkan hukuman selain memperhatikan hal-hal yang seharusnya diperhatikan oleh seorang hakim, saya juga menggunakan rasa keadilan (bukan rasa kasihan) dalam menjatuhkan vonis.”
Kata-kata Bismar Siregar ini kita jadikan sebagai tolok ukur dalam menilai dunia peradilan kita saat ini, apakah dunia peradilan kita sudah bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya? Silakan masing-masing kita untuk menilai dan menjawabnya.
*Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan dan Wakil Ketua Umum MUI