Abu Nawas berkawan baik dengan sultan Abbasiyah, Harun al-Rasyid.
IMBCNews | Sejarah mencatat, sastra sangat berkembang pesat di era keemasan Islam. Pada masa kekhalifahan berjaya, sastra mendapat perhatian yang amat besar dari para penguasa Muslim. Tak heran, bila di zaman itu muncul sastrawan yang terkemuka dan berpengaruh.
Di era kekuasaan Dinasti Umayyah (661-750 M), misalnya, gaya hidup orang Arab yang berpindah-pindah mulai berubah menjadi budaya hidup menetap dan bergaya kota. Pada zaman itu, masyarakat Muslim sudah gemar membacakan puisi dengan diiringi musik.
Pada zaman itu, puisi masih sederhana. Puisi Arab yang kompleks dan panjang disederhanakan menjadi lebih pendek dan dapat disesuaikan dengan musik. Sehingga puisi dan musik pada masa itu seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Sastra makin berkilau dan tumbuh menjadi primadona di era kekuasaan Daulah Abbasiyah –yang berkuasa di Baghdad pada abad ke-8 M. Masa keemasan kebudayaan Islam serta perniagaan terjadi pada saat Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya, al-Ma’mun, berkuasa.
Pada era itu, prosa Arab mulai menempati tempat yang terhormat dan berdampingan dengan puisi. Puisi sekuler dan puisi keagamaan juga tumbuh beriringan.
Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa jelang era modern.
GE Bosworth dalam buku Dinasti-Dinasti Islam menyatakan, 300 tahun pertama Dinasti Abbasiyah, yakni abad kedelapan hingga ke-11 Masehi, merupakan kurun waktu kejayaan wangsa ini.
Bukan hanya bidang teologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan sains yang berkembang pesat, melainkan juga sastra. Seorang orientalis asal Swiss, Adam Mez, menyebut era Dinasti Abbasiyah ini sebagai “Renaisans Islam”.
Riwayat sang legenda
Salah seorang sastrawan terkemuka yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Abu Nawas (756-814 M). Nama aslinya ialah Abu-Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Profilnya kerap muncul dalam buku-buku klasik Arab, semisal Alf layla wa-layla (Seribu Satu Malam).
Ia begitu tersohor, bahkan hingga masa modern kini, sebagai seorang penyair sufi yang bijaksana tetapi kocak.
Dalam soal gaya ini, Abu Nawas mirip dengan Nashrudin Hoja, penyair Turki yang wafat pada abad ke-13. Wejangan-wejangannya disampaikan melalui perkataan atau bahkan tindakan yang janggal, tidak terduga, dan sering kali mengundang gelak tawa.
Abu Nawas lahir di daerah bernama Ahvaz (kini bagian dari Iran) pada tahun 747 Masehi. Hayatnya terutama dikenal lantaran kedekatannya dengan Sultan Harun al-Rasyid. Pada zaman kepemimpinan raja tersebut, peradaban Baghdad mengalami kemajuan yang pesat.
Sebagai seorang penyair, mula-mula Abu Nawas masyhur sebagai sosok yang nyentrik. Ia suka mabuk-mabukan. Namun, pada akhirnya lelaki ini memperoleh pencerahan. Ia menemukan tambatan ekspresi jiwanya melalui dunia sufi. Sejak saat itu, inspirasi puisinya bukan lagi minuman memabukkan, melainkan nilai-nilai tauhid.
Sejak kecil, Abu Nawas hidup sebagai yatim. Berkat kegigihan sang ibu, ia dapat tinggal dan belajar di Basrah, kota kosmopolitan di Irak.
Abu Nawas belajar sastra dan bahasa Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Selain sastra, Abu Nawas juga belajar Alquran dan hadis, yakni masing-masing kepada Ya’qub al-Hadrami dan Abu Walid bin Ziyad.
Walibah bin Habab al-Asadi adalah sosok yang mengubah total jalan kepenyairan Abu Nawas. Berkatnya, Abu Nawas memahami esensi bahasa, sehingga diksi yang digunakannya kian mengena.
Abu Nawas sempat hijrah ke Kufah dan bergaul dengan suku-suku Arab Badui di sana. Dari pergaulan dengan mereka, Abu Nawas semakin piawai berbahasa Arab. Dari Kufah, ia pindah ke Baghdad, pusat peradaban dunia Islam kala itu.
Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas masuk ke lingkaran pergaulan para bangsawan. Dampaknya, corak kepenyairannya berubah. Ia cenderung memuji-muji penguasa.
Perkenalannya dengan Sultan Harun al-Rasyid dimediasi oleh juru musik Istana, Ishaq al-Wawsuli. Tak butuh waktu lama, sang sultan mengangkat Abu Nawas menjadi penyair istana. Walau pun dekat dengan Sultan, Abu Nawas tidak mau hidup dalam gemerlap duniawi.
Bagaimana pun, Sultan Harun al-Rasyid dapat mencerap kebijaksanaan dari menyimak pandangan dan karya-karya gubahan Abu Nawas. Sang sultan belajar banyak hal darinya, mulai dari keadilan, memerhatikan perikehidupan orang miskin, serta hablu minallah. Tentu saja, tidak jarang Sultan dibuat kesal oleh polah Abu Nawas yang sering tidak dimengerti. (Sumber: RepublikaOnline)