IMBCNews – Sejarah perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat pada 24 Rabiul Akhir 1412 H/1 November 1992 M. Bank Muamalat memulai kegiatan operasionalnya pada 1 Mei 1992 dengan pimpinan manajemen Zainulbahar Noor sebagai Direktur Utama.
Pertumbuhan bisnis perbankan yang dibangun di atas landasan prinsip syariah sampai saat ini telah melampaui tiga dekade. Sewaktu Indonesia menghadapi krisis moneter tahun 1997 – 1998, Bank Muamalat dapat melewati badai krisis dengan selamat.
Dewasa ini, tantangan industri perbankan syariah di tanah air tidak ringan, apalagi dalam ekosistem pasar keuangan global yang begitu kompleks. Dalam kondisi bagaimana pun dibutuhkan komitmen pada nilai-nilai islami dan ketangguhan dari sisi manajemen, strategi bisnis, teknologi, dan promosi.
Beberapa waktu lalu dikabarkan Bank Muamalat mengalami krisis. Banyak pihak berharap bank syariah pertama itu diselamatkan dan segera bangkit dengan performa yang baik. Pertengahan 2024 OJK menyatakan Bank Muamalat telah menunjukkan progres perbaikan kinerja yang positif dan sebagai bank yang sehat.
Menurut data pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah Bank Umum Syariah (BUS) sekarang ini ada 14 dan jumlah bank umum konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) ada 19, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat Syariah ada 173. Pertumbuhan perbankan syariah baik dari segi aset maupun operasional belum sebanding dengan perbankan konvensional, walaupun nasabah bank syariah tidak hanya muslim.
Masyarakat perlu tahu bahwa bank syariah bukan bank yang eksklusif, tetapi inklusif dalam pelayanan jasa keuangan karena bank syariah di manapun tidak membatasi nasabahnya berdasarkan identitas agama ataupun etnik.
Berbicara mengenai potret kinerja bank syariah, saya teringat ucapan mantan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad dalam rapat persiapan pendirian Sekolah Tinggi Perbankan Syariah Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang digagas oleh A.M. Fatwa (mantan Wakil Ketua MPR-RI) tanggal 19 November 2011 di Jakarta. Saya ikut hadir dalam rapat bersejarah tersebut.
Mar’ie Muhammad mengatakan jauh lebih kompleks memenej perbankan syariah daripada bank konvensional. Ada faktor risiko bagi perbankan syariah yang tidak berlaku pada perbankan umum, karena regulasinya begitu.
Di negara kita pertumbuhan perbankan umum lebih cepat daripada perbankan syariah. Seingat saya Pak Mar’ie Muhammad saat itu menyebut contoh perbankan yang baik itu ada di Inggris.
Perjuangan dan legacy para perintis Bank Muamalat tidak akan terlupakan sampai kapan pun.
Dalam hubungan ini sejumlah nama yang paling banyak disebut ialah Karnaen A.Perwataatmadja (alm), M.Amin Aziz (alm), Amir Radjab Batubara (alm), Zainulbahar Noor, Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri (alm) dan beberapa pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu yang telah menorehkan sejarah bank syariah pertama di Indonesia.
Hasil perjuangan mereka layak disebut sebagai an extraordinary achievement. Saya sempat berbincang dengan Karnaen A. Perwataatmadja, salah seorang pendiri Bank Muamalat sebelum beliau berpulang ke rahmatullah pada 10 Juli 2017.
Beberapa waktu sebelumnya saya menjenguk Pak Karnaen yang sedang dirawat di Rumah Sakit Puri Indah Kembangan Jakarta Barat. Karnaen A. Perwataatmadja adalah birokrat karier Kementerian Keuangan dan pegiat ekonomi Islam.
Dalam percakapan terakhir saya dengan Pak Karnaen di rumah sakit, beliau menceritakan “titik nol” perjuangan mendirikan bank syariah di masa Orde Baru. “Awalnya kami menemukan di dalam Undang-Undang Perbankan bahwa dimungkinkan mendirikan bank tanpa bunga,” kenang Pak Karnaen mengawali pembicaraan. Ia kemudian menemui tokoh dan pemimpin Islam, Mohammad Natsir. Pak Natsir sangat mendukung dan menganjurkan pendirian bank Islam.
Pak Natsir yang ketika itu sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami memiliki hubungan dan akses kerjasama Dunia Islam yang sangat baik. Setelah itu Karnaen melakukan kunjungan kepada Presiden Islamic Development Bank (IDB) Ahmed Mohammad Ali di Jeddah, Saudi Arabia, untuk mendapatkan dukungan pemikiran dan seterusnya.
Pertemuan tim MUI dengan Presiden Soeharto ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan Lokakarya “Bunga Bank dan Perbankan” di Cisarua Bogor tanggal 18 – 20 Agustus 1990. Lokakarya MUI tentang Bunga Bank di Cisarua dicatat sebagai peristiwa monumental dan pembuka jalan hadirnya Bank Islam pertama di Indonesia.
Dalam audiensi MUI dengan Presiden Soeharto, beliau tidak lagi bertanya apa itu Bank Islam. Pertanyaan beliau – kenang Karnaen – ialah: ulama mau mendirikan bank, apakah sudah punya dana? Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri menjawab, “Kalau dana kami tidak punya Pak, yang kami punya adalah doa”.
Pak Harto spontan menyatakan komitmennya untuk membantu modal awal pendirian Bank Islam, yaitu dipinjamkan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) sebesar Rp 3 milyar. Presiden Soeharto kemudian mencanangkan penggalangan dana di Istana Bogor untuk menghimpun modal pendirian bank.
Ketika itu terhimpun dana sekitar Rp 60 milyar. Jumlah tersebut melebihi persyaratan modal awal pendirian bank di masa itu.
Sewaktu MUI audiensi kembali dengan Pak Harto, beliau menanyakan nama bank dengan sistem bagi hasil dan tanpa bunga itu.
Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri mengajukan dua usulan nama kepada Presiden, yaitu: (1) Bank Muamalat, (2) Bank Muamalat Islam. Pak Harto yang belum begitu fasih mengucapkan suku kata yang masih asing, yaitu “muamalat”, terucapkan “mualamat”, apakah itu mencakup pengertian Islam? Dijawab, sudah mencakup. Pak Harto menetapkan nama “Bank Muamalat”.
Bank Muamalat hadir sebagai pelopor perbankan syariah di Indonesia. Dalam satu kesempatan, salah seorang mantan Direksi Bank Muamalat mengungkapkan ke saya, sewaktu Pak Amin Aziz masih hidup, beliau pernah mengatakan kalau boleh Bank Islam itu menggunakan nama orang, maka nama Karnaen A. Perwataatmadja adalah nama yang pantas.
Melengkapi informasi dari Karnaen A. Perwataatmadja, tak dapat dilupakan kontribusi penyertaan saham jamaah haji Indonesia pada Bank Muamalat. Dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993, hal 535, ditemukan catatan sejarah, Sabtu 25 April 1992 pada jam 09.00 pagi Kepala Negara menerima sembilan anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dipimpin oleh Ketuanya, K.H. Hasan Basri di Cendana.
Presiden Soeharto menghimbau para calon jemaah haji untuk ikut membeli saham BMI dengan menyisihkan sebagian dari biaya transportasi ke daerah masing-masing. Himbauan Kepala Negara dalam rangka menambah modal BMI ditindaklanjuti dengan terbitnya surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama yang menghimbau kepada setiap calon jemaah haji untuk memiliki saham Bank Muamalat dengan cara dipotong langsung dari uang bekal daerah Rp 10.000 per orang.
Saham penyertaan modal jemaah haji mencapai 19.990.000 lembar dengan nilai total sekitar Rp 19 milyar. Saham jemaah haji tersebut adalah amanah yang harus dijaga dengan baik.
Saya ingat betul saat itu Pak Karnaen menyebut tiga fase perjalanan sejarah bank Islam atau bank syariah di Indonesia sebagai berikut:
Pertama, fase introduction (pengenalan).
Kedua, fase recognition (pengakuan), dan
Ketiga, fase purification (pemurnian).
“Kini kita berada dalam fase purification, pemurnian”, ungkapnya.
Sejalan dengan pesan terakhir almarhum Pak Karnaen di atas, dibutuhkan sikap istiqamah para pengambil kebijakan dan praktisi perbankan syariah dalam mengawal idealisme perbankan Islam di tengah tantangan krusial industri perbankan dewasa ini. Singkat kata, bank tanpa bunga masih memerlukan pengembangan dan pemurnian secara konsep dan aplikasinya agar semakin kompetitif dan menarik bagi masyarakat dengan keragaman kebutuhan jasa keuangannya.
Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis,
M. Fuad Nasar (Mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK pada UIN Imam Bonjol Padang)