Oleh Sanya Dinda Susanti, Wartawan Antara
IMBCNEWS Jakarta | – Harun (26) menemukan ponsel yang ia inginkan di internet, tapi sayang, harganya yang senilai Rp6 juta dinilainya lumayan mahal.
Ia bisa saja menggunakan uang tabungan, tapi saat itu, tahun 2022, pemuda yang berasal dari Gresik, Jawa Timur, baru bekerja di Jakarta selama 3 bulan.
Jika menggunakan uang tabungan, sisanya bakal sangat menipis, dan akan membuatnya tak lagi bersemangat untuk berhemat ke depannya.
“Aku pikir sayang saja, kalau tiba-tiba tabungan berkurang banyak untuk beli handphone, jadi aku coba cari opsi kredit. Kebetulan waktu itu aku belum sempat mengurus kartu kredit, jadi aku coba pakai pinjol saja,” kata Harun.
Akhirnya, Harun mengajukan pinjaman dana kepada perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) peer to peer lending atau biasa disebut pinjol yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Harun mendapatkan batas pinjaman senilai Rp5 juta sehingga ia perlu mengambil Rp1 juta dari tabungan untuk menutupi kebutuhan membeli ponsel.
Untuk pelunasannya, ia perlu membayar dengan cara mencicil senilai Rp508 ribu setiap bulan selama 12 bulan.
“Kalau dihitung, bunganya bisa sampai Rp1 juta sendiri, tapi itu lebih baik daripada tiba-tiba saldo seret karena habis membeli ponsel,” kata Harun.
Berbeda dengan Harun, Rita (29) pernah mengajukan pinjaman dari pinjol untuk membayar kebutuhan mendesak, yakni melunasi tagihan biaya kuliah adiknya.
Rita merasa memiliki kewajiban melunasi tagihan tersebut karena ayahnya tak lagi punya pendapatan dengan nilai yang signifikan setelah pensiun, sementara ibunya merupakan ibu rumah tangga.
Saat itu, tahun 2021, Rita yang bekerja sebagai pegawai swasta dengan gaji mepet upah minimum regional (UMR) Jakarta tak punya cukup tabungan untuk membayar biaya pendidikan adiknya.
“Karena uangnya nggak ada, akhirnya aku mengajukan pinjaman ke pinjol yang dananya cair cepat,” kata Rita.
Menurutnya, nilai bunga yang harus dikembalikan bersamaan dengan utang pinjolnya sebetulnya cukup besar, tapi mau tak mau, Rita tetap mengajukan pinjaman.
Ia meminjam Rp2,5 juta dan harus mengembalikan Rp500 ribu setiap bulan selama 6 bulan.
Dalam statistik terkait fintech peer to peer lending, OJK mencatat total outstanding pinjaman dari fintech lending atau pinjol mencapai Rp50,12 triliun per Juli 2023.
Sebagian besar peminjam berasal dari kelompok muda dan produktif, dengan Rp24,33 triliun dipinjam oleh pengutang berusia 19-34 tahun, Rp17,26 triliun oleh peminjam berusia 35-54 tahun, dan hanya Rp2,54 triliun yang dipinjam oleh peminjam berusia di atas 54 tahun.
Jakarta tertinggi kedua
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat per Juli 2023 total outstanding atau utang pinjol 2,72 juta rekening masyarakat Jakarta mencapai Rp11,36 triliun, menjadikan nilainya kedua terbesar setelah Jawa Barat dengan nilai pinjol senilai Rp15,24 triliun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menyatakan nilai tersebut sebetulnya bisa terus ditingkatkan seiring pertumbuhan ekonomi di Jakarta, yang juga menunjukkan peningkatan daya beli masyarakat.
Dana dari pinjol yang telah terdaftar di OJK bisa menjadi alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan uang dalam waktu singkat, tapi tidak bisa mengakses kredit dari perbankan.
“Orang-orang yang bekerja di sektor informal akan sulit mengajukan dana kepada perbankan. Untuk kegiatan usaha juga, mereka tidak bisa pinjam uang dari bank tanpa jaminan,” kata Sunu menjelaskan.
Sebagaimana di tingkat nasional, sebesar 60 persen dari total pinjol yang disalurkan, itu digunakan oleh pengutang untuk memenuhi keperluan konsumtif, hanya 40 persen yang digunakan untuk kebutuhan produktif.
Sambil terus meningkatkan penyaluran pendanaan, pelaku industri juga terus berupaya agar kredit macet pinjol, diukur oleh tingkat wanprestasi 90 hari (TWP 90) dapat terus dijaga di bawah batas maksimal seperti ditetapkan OJK senilai 5 persen.
Di Jakarta sendiri, TWP 90 pinjol per Juli 2023 masih tergolong aman, yakni sebesar 3,10 persen.
Selain menjadi sumber dana alternatif, menurut Direktur Pengawasan Fintech OJK Tris Yuliana, sebetulnya aplikasi fintech peer to peer lending juga bisa menjadi wadah berinvestasi bagi masyarakat dengan menjadi lender atau penyedia dana.
OJK mencatat, di Jakarta sendiri, sebanyak 7,93 akun di aplikasi finteh tercatat oleh OJK telah menjadi penyalur pinjaman, dengan dana yang disalurkan mencapai Rp13,34 triliun.
Perlu sosialisasi pendanaan murah
Sementara itu, Anggota DPRD DKI Jakarta Suhud Alynudin menyatakan masyarakat DKI Jakarta, terutama pelaku usaha, masih membutuhkan sosialisasi terkait pinjaman tanpa agunan yang murah dan mudah.
Bank DKI sebetulnya memiliki produk pinjaman tanpa jaminan atau agunan untuk pelaku usaha dengan nilai di bawah Rp25 juta. Persoalannya menurut dia, pada sosialisasinya, berapa banyak masyarakat yang mengetahui peluang itu.
Masyarakat yang tidak mengetahui keberadaan pinjaman mudah dan murah tersebut berpotensi mengambil pinjaman dari aplikasi penyedia pinjol, yang berpotensi melilit masyarakat dengan utang.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih perlu menambah jumlah produk pinjaman yang mudah dan murah untuk masyarakat, terutama untuk pelaku usaha, sehingga mereka tidak tergoda meminjam dana dari pinjol, apalagi yang tidak terdaftar di OJK.
“Orang pinjam ke pinjol karena mudah, walau mereka menghadapi risiko potongan besar, bunga besar, dikejar debt collector. Peminjam sudah tahu risiko tapi karena tidak ada pilihan, mereka terpaksa pinjam ke pinjol,” kata Suhud.
Karena itu, Pemerintah harus mengedukasi masyarakat terkait cara mengelola pembayaran utang dan bahaya terjerat pinjol yang bisa membuat nilai kredit atau credit score masyarakat menjadi rendah.
Ditemui di kesempatan berbeda, Head of Advisory & Financial Planner Finansialku Shierly mengatakan masyarakat kerap tergoda pinjol karena mudah diakses, dana cepat cair, dan promosi dari pelaku industri sendiri juga dinilai cukup masif.
Hanya saja, agar tak sampai kesulitan melunasi utang pinjol, ia menilai masyarakat harus pandai menyusun skala prioritas, membedakan kebutuhan dengan keinginan, dan memastikan kesanggupan diri saat akan mengajukan pinjol.
Untuk menjaga arus kas individu, sebaiknya anggaran untuk pelunasan utang tidak lebih dari 35 persen dari pendapatan setiap bulan atau lebih rendah lagi kalau utang itu hanya untuk melunasi tagihan pinjol.
Kalau misalnya penghasilnya hanya sekitar Rp10 juta, berarti maksimal mereka membayar cicilan senilai Rp3,5 juta per bulan.
Dengan demikian, masyarakat sebenarnya bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman sepanjang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan untuk membayar.
Sebab, tidak semua pinjaman online itu buruk. Ia juga bisa membantu menggerakkan perekonomian asalkan digunakan untuk hal-hal produktif.
imbcnews/diolah/