IMBCNews, Jakarta | Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD kompak mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat agar segera diselesaikan menjadi Undang-undang. Tiga pejabat nasional tersebut sama mengungkap, Rencana Undang Undang (RUU) berkaitan masyarakat hukum adat sudah dibahas sejak tahun 2014, namun sampai sekarang ini belum menjadi undang-undang.
Hal itu disampaikan Bambang, Sahroni, mau pun Mahfud MD, dalam acara pembukaan perhelatan International Conference & Call of Paper yang berlangsung di Gedung MPR Aula Nusantara IV, Senin (7/8/2023). Perhelatan yang juga digagas Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) ini mengususng tema: “Pengakuan, Penghormatan dan Pperlindungan Hak-Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat dalam Prespektif Nasional dan Internasional”.
Bambang Sosatyo (Bamsoet) dalam sambutannya mengungkap akan terus mendorong undang-undang terkait masyarakat hukum adat agar segera diselesaikan oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode yang sedang berjalan sekarang ini.
“Mengingat, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara telah menegaskan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat,” tegasnya di hadapan sikitar 300an peserta yang umumnya kaum intelektual dari kalangan perguruan tinggi.
Politisi senior dari Partai Golkar tersebut juga mengemukakan, dalam UUD NRI Pasal 18B ayat (2) jelas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. “Sepanjang hal itu masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia memang seharusnya diatur dengan undang-undang,” sebut dia.
Ia menambahkan, konstitusi sebenarnya telah memberikan jaminan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat. Akan tetapi, dalam realitanya masyakarat adat masih dihadapkan pada berbagai persoalan untuk menjaga eksistensi beserta hak-hak asal-usul atau hak tradisional yang dimilikinya.
“Hak-hak tersebut mencakup hak atas sumber daya alam, perekonomian, kesejahteraan, serta hak untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas nasibnya sebagai kelompok masyarakat komunal,” papar Bamsoet, kemudian ia membuka International Conference & Call of Paper tersebut dengan resmi.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem Ahmad Sahroni mengatakan sangat mendukung RUU Masyarakat Hukum Adat agar masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI. “Kami mendorong agar dilakukan bahasan agar lebih cepat untuk diselesaikan,” katanya.
Ia juga mengungkap, bahwa di DPR RI saat ini anggotanya berasal dari 9 fraksi. Dalam hal ini, ketidaksamaan pandangan atau kepentingan sering terjadi, sehingga RUU adakalanya diperoses namun jalannya sangat lambat.
“Tantangan di dalam DPR selama ini, antar satu fraksi dengan fraksi lainnya seringkali terdapat beda pandangan. Ini jugalah selama ini yang membuat RUU Masyarakat Hukum Adat cenderung tidak kunjung menjadi Undang-undang. Karena UU itu melalui proses dan setiap proses ada pembahasannya. Sedangkan keadaan sekarang UU bagi Masyarakat Hukum Adat ini semakin dipandang penting sebagai perangkat perlindungan bagi masyarakat hukum adat, seperti pada masalah-masalah hak atas tanah adat dan lainnya,” sebut Sahroni.
Pada kesempatan itu, Menkopolhukam antara lain mengatakan, dalam sejarahnya sebelum penjajah datang hukum adat telah menjadi dasar hukum bagi masyarakat hukum adat.
Menurut Mahfud, kehadiran penjajah membawa dampak adanya pemberlakuan hukum pidana dan hukum perdata. “Namun begitu, saat itu Pemerintah Hindia Belanda masih mengakomodir masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan konflik di masyarakat suatu daerah tertentu atau suatu adat budaya dari suku bangsa tertentu,” katanya.
Ia mengemumukakan, untuk sekarang ini hukum yang sedang dikembangkan pemerintah adalah restorative justice. Pada restoratif ini, sebut Mahfud, memiliki unsur pendekatan pada masyarakat hukum adat.
“Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dalam mekanisme atau tata cara peradilan pidana yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Meski demikian tentu dipandang penting dliakukannya ketegasan dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat melalui adanya undang-undang,” sebut Mahfud.
Selain tiga pejabat tersebut, hadir di tengah peserta Ketua Umum APHA Dr. St. Laksanto Utomo, serta Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago. Hadir pula para guru besar yang menjadi narasumber diskusi antara lain, Prof. Byun Hae Cheoi (Hankuk University of Foreign Studies), Ms. Maria Roda Cisnero (Ateneo de Manila University), Guru Besar Universitas Hasanuddin Prof. Aminuddin Salle, serta Guru Besar Universitas Jember Prof. Dominikus Rato dan lain-lain. (Asyaro GK)