Kritik sosial merupakan sebuah topik mengenai adanya ketidakadilan di tengah masyarakat.
Oleh Dr. Laksanto Utomo *]
IMBCNews, Jakarta | Istilah “no viral no justice”, saat ini tengah menjadi sorotan para praktisi hukum. Pasalnya, pihak aparat hukum qq. Kepolisian jika ada laporan dari sebagian masyarat kurang sigap menangapi. Namun jika kasusnya itu sudah diviralkan, menjadi konsumsi publik aparat kepolisian cepat bergegas dan bergerak menanganinya. Inilah awal mula istilah “no viral no justice”, yakni, “tidak viral tidak ada keadilan”.
Begitu banyak contoh kasus, setelah viral dan meledak di media sosial, baru ditangani, seperti kasus yang terjadi di Sumatera Utara, mirip kasus Mario Dandy atau terkenal dengan kasus Rubicon, yakni video yang memuat penganiayaan yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan terhadap Ken Admiral pada tahun 2022 di hadapan ayah penganiaya, AKBP Achiruddin Hasibuan baru ditangani lebih serius oleh aparat setelah terjadi viral.
Selain itu, masih banyak lagi kejadian di masyarakat yang sudah dilaporkan ke pihak aparat tidak mendapatkan tanggapan, sepeti pelecehan seksual pegawai KPI Seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS, telah menerima tindakan perundungan, pelecehan seksual oleh teman-teman kantornya sejak ia bekerja di KPI pada 2012. Selama mengalami perundungan dan pelecehan itu ia melaporkan kasusnya kepada atasannya dan pihak kepolisian, namun laporannya tidak diseriusi.
Karena sudah tidak tahu harus melapor ke mana, MS akhirnya menuliskan kasus pelecehan seksual yang dialaminya dalam surat yang kemudian viral di media sosial Twitter pada awal Septermber 2021.
“Tolong Pak Joko Widodo, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, saya trauma buah zakar dicoret spidol oleh mereka,” tulis MS dalam suratnya. Setelah viral, baru kemudian polisi, KPI, serta pihak lainnya bergerak menindaklanjuti kasus ini.
Peran pengguna media sosial sebagai komunitas yang besar dalam mengangkat sebuah kasus hingga viral dan menjadi opini publik sangatlah penting. Apalagi di Indonesia dalam suatu data disebutkan, hingga Januari 2023 tercatat 167 juta orang pengguna media sosial yang didominasi mereka yang berusia 22 – 44 tahun.
Dari penelusuran ditemukan ada beberapa alasan netizen memilih memviralkan suatu isu melalui media sosial. Pertama, karena jumlah pengguna media sosial banyak dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Kedua, karena penyebaran berita melalui media sosial lebih cepat. Dan Ketiga, jika sudah viral, maka cepat memperoleh atensi dan respons dari pemerintah atau aparat penegak hukum.
Jadi, menurut Oksinata dalam Nova Christanty, media sosial bukan hanya dapat digunakan sebagai alat eksistensi diri namun sebagai bentuk kontrol terhadap penguasa atau dapat disebut sebagai media kritik sosial. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi di tengah masyarakat yang memiliki tujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial atau proses bermasyarakat.
Kritik sosial merupakan sebuah topik mengenai adanya ketidakadilan di tengah masyarakat, yang bertujuan menyindir pihak terkait agar keadilan sosial diperjuangkan. Realitas ini menunjukkan media sosial telah menjadi sarana penting dalam mendorong proses penegakan hukum dan keadilan yang profesional, adil dan berkualitas. Ini berarti media sosial juga dapat dimanfaatkan untuk menyuarakan dan memperjuangkan keadilan.
Istilah no viral no justice itu secara tidak langsung diaki oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia mengatakan, belakangan ini muncul fenomena “no viral, no justice” di media sosial (medsos). Masyarakat berpandangan bahwa suatu laporan tindak pidana harus viral terlebih dulu agar segera ditindaklanjuti aparat kepolisian. “Jadi ini kemudian sudah melekat di masyarakat bahwa harus viral, kalau tidak viral maka prosesnya tidak akan berjalan dengan baik,” kata Listyo di acara Rakor Anev Itwasum Polri beberapa waktu lalu. Itu juga dapat disebut bagian dari kritik masyarakat agar aparat kepolisian lebih tanggap dan sigap terhadap laporan masyarakat utamanya laporan yang menyentuh kaum papa atau layanan publik.
Oleh karenanya, Listyo mendorong jajarannya melakukan evaluasi dan menindaklanjuti laporan yang diadukan melalui program pengaduan massyarakat (dumas). “Aparat Kepolisain seharusnya menangani tidak harus menungu kasus itu diviralkan, karena hal itu akan menjadi kritik seolah aparat tidak bekerja secara baik.”
Pengawasan Internal Polri perlu juga ditingkatkan karena berbagai kasus yang terjadi di masyarakat, terlihat kecenderungan masyarakat lebih percaya pada medsos dari pada fungsi-fungsi pengawasan di Polri. Misalnya, Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan). Penindakan anggota yang melanggar atau upaya hukum internal, justru terjadi setelah medsos meributkan. Pengaduan masyarakat terhadap perkaranya yang sedang berjalan, kesewenangan anggota Polri, dan berbagai laporan masyarakat, kalau tidak lambat berjalannya, ya entah ke mana laporan tersebut juntrungannya.
Dengan demikian, saatnya aparat hukum Polisi sebagai pelayan publik melakukan evaluasi kerjanya agar dalam penegakan hukum, mencari kepastian dan mencari keadilan tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggara hukum seperti hanya memfokuskan media sosial yang kadang kala justru dapat menabrak Undang-undan lainnya, seperti UU ITE, karena viral lewat mesos banyak juga yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan.
Memaknai Pasal 27 UU No 11 Tahun 2008 yang menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”.
Untuk memaknai pasal itu, ada seseorang yang merasa dirugikan. Sebeut saja Dini Maryam, ia difitnah tidak taat membayar pajak oleh temanya yang di posting dengan anonim atau tidak bertangung jawab. Saat melamar pekerjaan, ternyata ada pihak lain yang pernah membaca medsos itu yang dimual via word press. Dini menjelaskan, ia pengecut kaena apa yang disampaikan itu fitnah. Untungnya pihak kantor percaya hingga ia lolos dalam seleksi jabatan publik itu. Oleh karena itu penegakan hukum dalam usaha mencari keadilan substantif tidak boleih aparat hanya berbasis pada medsos, tidak semua medsos punya legal standing atau alas hak yang kuat.
Independensi Penegak Hukum VS Medsos
Terlepas dari dampak positif media sosial dalam mendorong penegakan hukum agar berjalan secara profesional dan terbuka, tapi perlu juga dipertimbangkan pengaruh tekanan media sosial itu terhadap independensi aparat penegak hukum yang menangani perkara yang menjadi sorotan publik. Artinya proses penegakan hukum dan keadilan harus berjalan secara profesional sesuai aturan hukum dan nilai-nilai keadilan (rasa keadilan) yang hidup dalam masyarakat, dan bukan penegakan hukum berbasis kepada tekanan opini publik. Indenepensi pnegak hukum harus tetap terjaga jangan sampai tergerus dengan kemjuan teknologi yang mudah untuk disalah gunakan utamanya via medsos.
Oleh sebab itu, adanya integitas tinggi, profesionalisme, dan transparansi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan sebuah kewajiban hukum, etik dan tuntutan profesi yang harus diwujudkan. Sebagai sebuah negara hukum, negara dan lembaga penegak hukum harus serius dan benar dalam membentuk aparat penegak hukum yang berintegritas tinggi, profesional dan mempunyai nurani.
Gagasan ini tentu masih membutuhkan kajian lebih lanjut dari kita semua, terutama fakultas hukum dan pendidikan tinggi hukum dalam mendorong terbentuknya SDM penegak hukum yang professional, berkualitas dan berintegritas tinggi.
Jorgensen dalam (Ratih Frayunita Sari, 2019) mengatakan, kebebasan berpendapat merupakan freedom of expression is closely connected to freedom of thought and is a precondition for individuals self-expression and self-fulfilmen and scholarly endeavour free of inhibitions. Artinya, kebebasan berekspresi berhubungan erat dengan kebebasan berpikir dan merupakan prasyarat untuk ekspresi diri dan pemenuhan diri sendiri secara bebas dari berbagai hambatan. Terkait itu, menurut UNESCO kebebasan berpendapat, setiap orang memiliki hak alami untuk mengekspresikan diri mereka termasuk kebebasan berpendapat melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara serta tanpa rasa takut.
Namun perlu disadari, batasan dalam kebebasan berpendapat itu juga telah diatur berbagai perundangan seperti UU ITE, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 23 ayat (2) yang menegaskan adanya batasan dalam menyampaikan pendapat dan itu juga perlu digarisbawahi, antara kebebasan sebagai bentuk hak, juga ada unsur pertanggung jawaban, menyebutkan, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan Negara.
Oleh karena itu dalam hal penggunaan hak berpendapat dimanapun dan melalui media apapun termasuk juga lewat media internet, juga perlu memperhatikan hak orang lain serta pembatasan-pembatasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ini.
Kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan tanpa batas. Tapi sebuah kebebasan yang harus memperhatikan milai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan hukum. Kebebasan ini mengandung unsur pertanggungjawaban.
Tanggung jawab secara harifiah dapat dimaknai sebagai keadaan wajib memegang segala sesuatunya jika terjadi suatu hal yang dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain. Dalam hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.
Sedangkan arti pertanggungjawaban menurut Soegeng Istanto, kewajiban untuk memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Tanggung jawab muncul dari adanya aturan hukum yang memberikan kewajiban kepada subyek hukum dengan ancaman sanksi apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Tanggung jawab demikian dapat juga dikatakan sebagai tanggung jawab hukum, karena muncul dari perintah aturan hukum/undang-undang dan sanksi yang diberikan juga merupakan sanksi yang ditetapkan oleh undang undang. Oleh karena itu pertanggungjwaban yang dilakukan oleh subyek hukum merupakan tanggung jawab hukum.
Mengacu pada konsep pertanggungjawaban di atas mengandung arti bahwa pengguna media sosial yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU No. 11 Tahun 2008 j.o UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) haruslah bertanggungjawab secara hukum atas perbuatannya itu. Pertanggungjawaban hukum bagi pelanggar UU ITE ini dilakukan melalui mekanisme penegakan hukum.
Dengan demikian, penegakan hukum ternyata basisnya bukan karena viral lewat medsos. tetapi penegakan hukum harus selaras dengan dengan aturan dalam perundang-undanganyang sudah tersedia. Dengan begitu, usaha menegakkan hukum daam negara hukum di Indonesia tidak akan salah kaprah. (imbcnews-laraspos/diolah)
*] Dr. Laksanto Utomo, Dosen FH Univ. UPN Jakarta, dan juga sebagai Pengurus Lembaga Study Bantuan Hukum Indonesia (LSHI).