Oleh Prof. Dr. Ir. Dermawan Wibisono, M.Eng.*)
IMBCNEWS Jakarta | – Kuntoro Iman Subagyo Mangkusubroto masuk ITB tahun 1965, saat menjelang pergantian rezim di Indonesia. Ia menjadi bintang terang di angkatannya dan menjadi dosen di TI ITB bersama dengan Dr. RM. Soetarno.
Putra Pitoyo Mangkusubroto itu menempuh pendidikan S1 di TI ITB lalu melanjutkan S2 di Stanford University, Amerika Serikat, bidang Industrial Engineering dan Civil Engineering, kemudian menjadi doktor pertama bimbingan Prof. Matthias Aroef dari TI ITB di bidang pengambilan keputusan.
Satu yang sangat menonjol dari Kun adalah penguasaan pemecahan permasalahan sejak konsep sampai detail teknis yang harus dilakukan sesuai dengan kepakarannya di bidang pengambilan keputusan.
Dalam sepak bola ia selalu mengambil posisi sebagai penjaga gawang TI ITB yang andal. Jika bisa disamakan, mungkin seperti Rene Higuita, penjaga gawang eksentrik dari Kolombia yg berani menahan tendangan dengan menggunakan kalajengking kick, tendangan sambil salto, yang tepat mengenai telapak kakinya.
Selain itu hal non teknis yang kukagumi dari Kun yakni sikap energiknya yang luar biasa. Jika diibaratkan baterai kun adalah energizer yang tidak perlu di-charge ulang. Dia layak sebagai panutan atau teladan.
Dalam sebuah rapat penting, Prof Kuntoro dan Prof. Matthias Aroef tak pernah terlihat mengantuk atau menguap sekalipun, walau telah begadang di hari sebelumnya. Tetap segar dan memberikan sumbangan buah pikiran yang jernih walau kadang kontroversial dan eksplosif tak jarang out of the box.
Perjalanan kariernya terbilang mulus dan sesuai dengan ekspektasinya, menjadi dosen TI ITB, Direktur Utama PT Bukit Asam, Direktur Utama PT. Timah, Direktur Utama PLN, Ketua Revitalisasi Aceh yang porak poranda karena bencana tsunami 9,3 skala skala richter pada 26 Desember 2004, gempa ke 5 terbesar di dunia, yang menelan korban 230.000 an jiwa meninggal dunia di Aceh.
Gelombang tsunami yang terjadi di pesisir Aceh saat itu diperkirakan mencapai ketinggian 30 meter dengan kecepatan mencapai 100 meter per detik atau sekitar 360 kilometer per jamnya.
Tak hanya di Aceh, Indonesia, total ada sebanyak 15 negara terdampak oleh bencana tsunami di akhir 2004 itu.
Kelima belas negara itu adalah Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, Somalia, Myanmar, Maladewa, Malaysia, Tanzania, Seychelles, Bangladesh, Afrika Selatan, Yaman, Kenya, dan Madagaskar.
Indonesia adalah negara yang dampaknya paling parah selain Sri Lanka, Thailand, dan India. Yang tertinggal adalah puing reruntuhan tak berbentuk dan tak tertandai wilayahnya, sehingga harus Kun harus memimpin upaya mengembalikan segalanya mulai dari nol, tak ada orang, tak ada batas wilayah.
Ia juga mengakomodasikan bantuan dari berbagai negara dengan tingkat kesuksesan tertinggi di dunia dalam pemulihan bencana alam dan penggunaan uang bantuan tanpa catatan kelam yang sering menyertai dana bantuan yang diberikan.
Kun pernah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi serta menjadi ketua badan monitoring kementerian seluruh Indonesia atau Kepala Unit Pengelolaan dan Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan Presiden (UKP-PPP) pada 2009-2014, sebuah jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II yang ditugaskan untuk menjadi mata, telinga, dan tangan Presiden.
Mendirikan SBM ITB
Bersama dengan 9 dosen ITB yang lain, Prof Kuntoro, dengan Prof. Surna Tjahja Djajadiningrat, Ir. Arson Aliludin, DEA, Ir Nurhajati, MSc, Prof. Jann Hidajat, Ir. Budi Permadi, MP, Prof. Sudarso, Prof. Dermawan Wibisono, Prof. Utomo Sarjono Putro, Prof. Aurik Gustomo, menjadi pendiri Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB atas penugasan rektor ITB yang visioner, dan Dr. Kusmayanto Kadiman pada 31 Desember 2003.
Pendirian sekolah bisnis di lingkungan Institut Teknologi tertua di Indonesia, tak urung menimbulkan polemik keras dari para senior waktu itu.
Pusat Engineering, Science dan Arts yang telah lama berdiri, bahkan sejak sebelum proklamasi dikumandangkan. Dengan satu konsekuensi sekolah akan berdiri atau out dari ITB karena tidak ada institusi penampung ke 10 dosen tersebut di ITB.
Sesuatu yang sama sekali baru, out of the box. Konsekuensi yang perlu untuk dipikirkan ribuan oleh banyak dosen waktu itu untuk bergabung, membangun bersama sesuatu yang masih samar di depan mata.
Namun tidak bagi ke-8 dosen itu karena mereka melihat konsep matang, spirit, endurance, dan komitmen Kun. “Katakan padaku, aku percaya, dan aku ikut. Sami’na wa’athokna, prinsip fatalistik yang tidak biasa aku lakukan dalam hidup sebetulnya.”
Dengan konsep baru pengelolaan yang mandiri, sesuai dengan asal penyusunan sekolah yang mengambil reference dari AS dan UK yakni sekolah, yang mandiri secara finansial dan sumber daya manusia.
Artinya punya hak penuh dalam pengelolaan keuangan dan perekrutan tenaga dosen dan tendik, yang waktu itu dilakukan dengan porsi minimal 70:30 sebagai perwujudan sebuah studi yang sudah dilakukan di banyak institusi tentang syarat tegaknya sebuah institusi.
Mulai dari bayar listrik, bayar tenaga keamanan (satpam), air, renovasi fasilitas fisik, penggajian tendik dan dosen, pengembangan institusi semua atas dasar kemandirian, yang tidak semua fakultas sanggup dan berani melakukannya.
Dalam awal pendiriannya Kun pernah mengatakan tidak ingin di SBM terjadi re-bleeding dengan rekrut dosen dari satu institusi asal saja, bayangan Kun adalah 40 persen dosen dari dalam negeri dan 60 persen dari luar negeri sehingga nantinya dosen internal akan menjadi minoritas untuk menghela institusi menjadi berkelas dunia.
Sebagai referensinya adalah Universitas di Singapura, NUS dan NTU dan Chulalongkorn di Thailand, yang langsung teken kontrak dengan universitas di Amerika.
Perangkat dan SDM disiapkan selama 10-20 tahun di dalam negeri sebelum dilepas landas, seperti universitas di negara tetangga, terutama Singapura yang sudah masuk dalam 50 besar dunia saat ini dalam perangkingan berbagai lembaga seperti Shanghai Jia Tong, Webometrics, Times Higher Education, dan sebagainya.
Sayang birokrasi di Indonesia belum memungkinkan hal yang ekstrim dan langkah radikal semacam itu dilakukan.
Namun di tengah keterbatasan tersebut, Kun membawa SBM berkembang melesat cepat, dengan berbagai program studinya dan menjadi nomor 1 di Indonesia bahkan mendapatkan akreditasi internasional AACSB, di mana hanya 6 persen sekolah di dunia bisa mendapatkannya.
Hal ini terutama karena terpaterinya values yang diyakini dan diterapkan dari para pendiri dan pengikutnya kemudian, yaitu integritas dan komitmen bahwa kuliah adalah sakral sehingga dosen tidak bisa seenaknya mengubah jadwal atau kosong atas nama kepentingan pribadi. Selain juga penerapan fairness dalam mekanisme pengajaran dan penilaian yang dilakukan.
Masih banyak lagi hal yang Kun tinggalkan bagi perkembangan nusa, bangsa, dan ITB. Yang terpenting di antaranya adalah ‘Walk the Talk’, apa yang kau bicarakan harus sama dengan apa yang dilakukan, sehingga orang mengenalnya sebagai pribadi yang bersih dan selalu menorehkan warisan yang baik bagi institusi yang dikelolanya.
Datang tampak muka, pulang tampak punggung, dengan berjalan tegak menuju dan pamit dari institusi. Ini dadaku, mana dadamu. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Ungkapan bahasa Jawa yang maknanya kurang lebih: “Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan.”
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Pepatah Jawa yang masih digenggam orang Jawa yang belum hilang rasa Jawanya, yang dicontohkan orang-orang Purwokerto dan Banyumasan seperti Panglima Besar Soedirman, Soesilo Sudarman, Soeparjo Rustam dan Kun sendiri yang berasal dari kampung halaman yang sama.
Kun adalah family man, seperti prinsip pemilihan Presiden Amerika Serikat sebelum Donald Trump, bahwa pemimpin dipilih dari keutuhan dan keharmonisan keluarga yang dibinanya.
Jika tak bisa mengatur keluarga sebagai satu organisasi terkecil, bagaimana bisa mengelola sebuah institusi atau negara?
Dengan seorang istri yang selalu menyertai perjalanannya dalam berbagai acara keorganisasian dan lima putra laki-laki, seperti Pendawa Lima, Kun melangkah dengan tegap menatap dengan optimisme setiap masa depan yang menyambutnya.
Terima kasih Pak Kun, sedikit orang besar dan baik, di negeri ini, yang bahkan mulai dari belanja meja besar untuk dipakai di MBA ITB dan mengangkut dengan becak dari suatu pasar furnitur di Bandung sendiri.
Meja lonjong besar, tempat syndicat grup nanti tempat berdiskusi dalam kelas, yang harus kami cari, kiri-kanan di kompleks pertokoan di siang terik mentari bersama dengan Prof. Utomo saat itu, yang agaknya menjadi inspirasinya sehingga anak pertamanya bernama Mentari.
Hal terbesar yang dikenang salah satunya adalah ia bisa membuat anak buahnya bekerja extra ordinary, mencapai titik di luar batas kemampuan yang dimiliki, namun semuanya dilakukan dengan gembira walau tak ada yang dijanjikan apa-apa sebagai imbalannya, hanya sebuah destiny.
Destiny, menjadi hal terakhir dan pertama yang dipertaruhkan. Seperti semangat bushido laskar Jepang. Hidup hanya sekali, sesudah itu mati…kata Chairil Amwar, apa hal berarti yang manusia tinggalkan?
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu
“Ya Allah! Ampunilah Pak Kun, berilah ia rahmat-Mu, kesejahteraan, serta maafkanlah kesalahannya.”
Selamat jalan, Pak Kun, guru, idola, dan panutan anak bangsa ini dalam berfikir dan bertindak. Allah telah memanggil dan insyaa Allah akan memberikan tempat terbaik bagimu.
*) Penulis adalah Dosen dan Pendiri SBM ITB,sumber ant/diolah/