IMBCNews, Jakarta | Pola kepemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat, umumnya telah menjadi budaya turun temurun dan hal itu dilakukan mereka dengan tertib. Dalam masyarakat hukum adat terdapat nilai, bahwa penguasaan tanah memiliki makna sangat penting bagi kehidupan yang keberlanjutan.
Hanya saja disayangkan, faktor-faktor di masyarakat yang berkeadaan tertib dalam kultur penguasaan atas tanah ulayat itu, khususnya di Indonesia, masih memiliki potensi terjadinya konflik agraria; Karena, kadang kala masih ditemukan adanya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat yang dilakukan secara informal dan dalam kodifikasi seperti pada bentuk cerita rakyat (folkways) dan adat-istiadat (mores).
Demikian antara lain yang diangkat ke permukaan pada Orasi Pengukuhan Guru Besar Prof Dr St Laksanto Utomo, SH., M Hum., yang diselenggarakan Universitas Sahid Usahid) Jakarta, pada Sabtu (16/12). Guru Besar bidang hukum di Fakutas Hukum Usahid ini, lebih fokus mengarahkan ulasan orasinya dalam tema: Konsepsi Perlindungan Hukum Tanah bagi Masyarakat Hukum Adat.
Ia memandang, secara teoritis dalam penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat tercermin juga dari Soetardjo Widnjosoebroto dan Bagong Sujanto; Bahwa demi berlangsungnya setiap masyarakat mesti berada dalam keadaan tertib. Tanpa keadaan tertib pasti keadaan masyarakat tidak mungkin berlangsung.


Lebih jauh dikemukakan, manusia sangatlah berbeda dengan serangga sekali pun tertib. “Masyarakat serangga yang keadaannya tampak tertib, karena bekerjanya didorong faktor biologis dan alami saja. Sedangkan manusia, keadaan tertib selalu ditegakkan atas dasar faktor-faktor yang bersifat kultural, serta diusahakan dengan peraturan-peraturan yang normatif.
“Pengaturan-pengaturan dan peraturan-peraturan itu kadang dilakukan dengan sengaja, formal, dan terkodifikasi. Misal dalam bentuk hukum tertulis, status atau undang-undang. Namun, terkadang juga hanya dilakukan informal dan terkodifikasinya seperti dalam bentuk folkwas dan mores,” ungkapnya.
Di atas pertimbangan-pertimbangan itu, sebut Prof Laksanto, bagi manusia pentingnya hukum paling sedikit befungsi untuk mencapai ketertiban umum. Pada gilirannya, mencapai keadaan yang kondusif kemudia ditingkatkan pada pencapaian keadilan.
“Meski demikian, tidak dapat dipungkiri juga bahwa persoalan tanah ulayat sejak zaman kolonial, langsung atau pun tidak langsung, telah menimbulkan konflik laten agraria,” paparnya.
Pada kasus-kasus tertentu, sebut Prof Laksanto, konflik tersebut berkembang menjadi sengketa atau perkara yang berlanjut. “Secara umum, spekrum konfliknya, baik vertikal mau pun horizontal, menjadi cukup beragam,” terang dia, seraya merinci dengan pendekatan berbagai kasus konflik agraria, antara lain:
- Tanah ulayat yang dikasifikasi sebagai tanah negara seperti perkara di Jayapura dan Sumatera Utara, juga di pelbagai yang terjadi dalam pendaftaran tanah;
- Adanya klaim antara entitas hutan adat dengan hutan negara;
- Adanya klaim tanah (hak) ulayat dengan skala hak yang skala besarnya terjadi pada areal perkebunnan (HGU);
- Adanya klaim tanah ulayat dengan areal izin (konsesi) pertambangan;
- Konflik sehubungan dengan penetapan wilayah adat sebagai taman nasional atau pun kawasan hutan lindung;
- Konflik wilayah adat antar masyarakat adat.
Ditegaskan Laksanto dalam orasi ilmiah terkait pengukuhannya, bahwa yang menjadi salah satu penyebab konflik dikarenakan belum clear-nya entitas tanah (hak) ulayat.
“Merujuk pendapat Maria SW Sumardjono bahwa berdasarkan konsepsi hubungan antara negara dengan tanah terdapat tiga entitas tanah; Pertama, tanah negara. Kedua, tanah ulayat. Dan ketiga, tanah hak. Maka sememangnyalah masih kurang perhatian pemerintah dalam menyelesaikan persoalan tanah ulayat,” sebutnya.
Perhatian pemerintah daerah misalkan, dalam mengurus tanah (hak) ulayat juga masih dirasa kurang. Menurut Prof Laksanto, kekurangan itu dapat dicermati melalui terbitnya Permeneg Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
“Hingga saat ini, hanya enam kabupaten-kota yang menerbitkan peraturan tanah (hak) ulayat, yaitu; Kabupaten Kampar, Lebak, Nunukan, Malinau dan Kabupaten Sigi, dengan satu kota yaitu Kota Ternate. Jumlah enam kabupaten-kota,” jelas Prof Laksanto.
Dengan demikian, kata dia, mengenai kepemilikan atau penguasaan tanah (hak) ulayat masyarakat adat masih sangat perlu mendapatkan perhatian, dan secara hukum sudah seharusnya memperoleh perlidungan hukum formal yang lebih konkret dan terukur dalam berkeadilan. (asy/thy-1612)