Jakarta-IMBCNews – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan menilai ketika arbitrasi semakin berkembang namun ada perkembangan yang kurang baik, karena ada peradilan yang bisa membatalkan putusan peradilan. Untuk itu dia meminta Mahkamah Agung (MA) agar memberi perhatian serius terhadap pembatalan putusan arbitrase oleh pengadilan di Indonesia.
Menurutnya hal tersebut bisa melukai kredibilitas terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Di negara lain putusan arbitrase memang bisa dibatalkan, namun harus disertai alasan jelas,” kata Otto Hasibuan saat menjadi keynote speaker di acara Seminar Nasional Peradi ‘Tips dan Trik dalam Menangani dan Menyelesaikan Perkara Arbitrase’, Jumat (1/11/2024).
Seminar tersebut menghadirkan pembicara; Mrs. Karen Mills,
Mr. Theodoor Bakker (Kantor ABNR), Prof. Hikmahanto Juwana (Rektor Univ Jenderal Achmad Yani) dengan moderator Yunus Edward Manik,
Ketua Bid. Pendidikan, Rekomendasi, Pengawasan advokat asing dan Pendidikan spesialisasi profesi.
Otto yang juga Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan itu menekankan arbitrase bisa menjadi alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan. Terlebih dengan menimbang panjangnya prosedur yang dilalui pada pengadilan.
“Di dunia pun arbitrase ini sebenarnya menjadi satu alternatif yang memang kita bayangkan agar bisa berkembang. Arbitrase ini harus menjadi suatu lembaga yang harus kita kembangkan terus dan kita sosialisasikan kepada semua masyarakat yang ada di Indonesia” katanya.
Seperti diketahui, arbitrasi atau arbitrase adalah sebuah perjanjian perdata yang dibuat berdasarkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata di luar peradilan umum. Pihak ketiga yang memberi keputusan disebut dengan arbiter.Arbiter sendiri dipilih secara bersama oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal ini tentunya semua pihak akan menaati putusan yang diambil oleh arbiter.
Kendati demikian, dia menyayangkan adanya kecenderungan pengadilan untuk membatalkan keputusan arbitrase di Indonesia. Adapun alasannya merujuk pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (‘UU APSA’).
“Tetapi dengan ketentuan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase Indonesia.
Dengan adanya ketentuan bahwa pihak yang kalah bisa mengajukan permohonan pembatalan ke pengadilan, terhadap suatu putusan arbitrase dengan alasan adanya tipu muslihat, palsu, dan sebagainya,” tuturnya.
Banyaknya putusan BANI yang dibatalkan, menurut Otto sangat berbahaya jika dibiarkan. Hal ini lantaran dapat menurunkan kredibilitas BANI dan membuat pihak asing tidak memilih BANI, karena takut akan di-challenge kembali di pengadilan.
Karena banyak putusan BANI telah dibatalkan, sehingga menggoyahkan lagi kepercayaan daripada masyarakat dan juga para investor yang ada di Indonesia terhadap kredibilitas daripada BANI yang dibatalkan oleh pengadilan,” paparnya.
Dia mengungkapkan pada beberapa putusan, para pihak berperkara seakan diwajibkan untuk mengajukan bukti yang ada. Jika tidak, maka dianggap
menyembunyikan bukti, meski tidak diminta oleh arbitrer dan para pihak.
“Jadi kalau Anda berperkara, kita kan menganut asas Actori In Cumbit Probatio, barangsiapa yang mengajukan, dia membuktikan. Sehingga ketika kita mengajukan keberatan tentunya kita yang menentukan mana bukti-bukti yang harus kita ajukan. Mana yang kita tidak perlu kita ajukan,” jelas Otto.
Padahal, kata dia, seorang dikatakan menyembunyikan jika ia telah diminta oleh arbitrer atau para pihak, tapi bukti tersebut tidak diserahkan.
“(Ini) sengaja saya sampaikan ini agar ini menjadi perhatian Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Agung harus memberikan perhatian serius kepada ini. Ternyata tafsir terhadap ketentuan pasal itu sangat-sangat lentur, bahkan suka-suka,” tandasnya. (*)