Oleh H Anwar Abbas *]
IMBCNews, Jakarta | M Jusuf Kalla (JK) tampak tidak keberatan dengan ikutnya Israel pada Piala Dunia U-20 di Indonesia. Karena lewat peristiwa ini Indonesia, kata Pak JK akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.
Hanya saja, pertanyaannya, betulkah hal demikian bisa terjadi? Hal ini tentu perlu dikaji lebih dalam lagi apakah asumsi Pak JK memiliki dasar pijak yang kuat atau tidak.
Ada tiga negara yang sudah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Di mana, lokasinya secara geografis sangat dekat dengan Israel yaitu Mesir, Yordania dan Turki.
Dua negara pertama yaitu Mesir dan Yordania malah berbatasan langsung dengan israel. Dari ketiga negara tersebut, yang paling pertama membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah Turki, tahun 1949.
Turki negara yang mayoritas penduduknya muslim menjadi yang pertama mengakui negara Israel. Sampai saat ini (selama 74 tahun) Turki sudah mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.
Lalu bagaimana hasilnya? Tampaknya kedekatan Turki dengan israel tidak juga mampu mengubah perlakuan Israel kepada rakyat Palestina. Bahkan, jangankan semakin lebih baik malah semakin lebih buruk; Sehingga dalam sebuah pertemuan Presiden Turki Erdogan karena sangat marah kepada Israel, dia pernah mempermalukan PM Israel yang hadir dalam acara tersebut.
Tidak hanya sampai disitu. Erdogan juga meninggalkan tempat acara. Jadi tampaknya penggunaan teori kedekatan dalam hal yang terkait dengan Israel ternyata tidak dapat diharap akan menyelesaikan masalah.
Kesimpulan ini bukan tidak beralasan. Fakta dan kenyataan yang ada menunjukkan bahwa Mesir yang telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun 1980 dan Yordania tahun 1994, ternyata juga tidak mengubah sikap Israel. Dalam kenyataannya sikap Israel, jangankan semakin ramah dengan rakyat Palestina tapi malah sebaliknya, di mana Israel tampak semakin brutal.
Hampir setiap hari kita mendengar jeritan dan tangis ibu-ibu serta anak-anak yang menderita karena kehilangan orang tuanya yang dibunuh oleh tentara Israel secara kejam.
Tidak hanya sampai situ, Israel masih saja terus menjalankan misinya dan tetap tidak mau berhenti memperluas daerahnya dengan mencaplok tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat palestina.
Hal tersebut mereka lakukan, tentu ada sebabnya yaitu selain untuk menjaga keamanan dalam negerinya. Juga adalah, karena Israel punya konsep tentang Israel Raya yang wilayahnya sangat luas, selain mencakup Yerussalem juga termasuk Yordania, sebagian wilayah Arab Saudi, Syria dan Lebanon.
Oleh sebab itulah Israel melihat daerah-daerah yang mereka duduki tersebut sebagai miliknya, maka ketika mereka mencaplok daerah-daerah tersebut mereka tidak memandang dirinya sebagai penjajah karena menurut mereka tanah palestina dan Yerussalem tersebut adalah bagian dari tanah air mereka sendiri yaitu Israel Raya.
Lalu, di tengah situasi dan sikap serta pandangan Israel seperti itu, Pak JK berharap Indonesia akan bisa memainkan peran penting di dalam membela dan memperjuangkan nasib rakyat Palestina.
Pertanyannya, apakah itu mungkin? Rasa-rasanya hal itu masih jauh panggang dari api. Pasalnya, jangankan Israel akan memperhatikan dan mengikuti saran Indonesia; Resolusi PBB saja yang merupakan sikap dan pandangan dari banyak negara mereka tolak.
Benyamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel tegas-tegas mengatakan Israel tidak terikat dengan keputusan dan resolusi PBB tersebut.
Jadi, kesimpulan saya, gagasan Pak JK kurang realistis dan tidak didukung oleh fakta empiris yang ada. Hal ini terjadi, mungkin karena Pak JK kurang memperhatikan sikap dan pandangan dari orang Israel itu sendiri yang bercita-cita untuk mewujudkan negara Israel Raya.
Saya khawatir pula dengan gagasan Pak JK, selain dimungkinkan tidak berhasil memperbaiki nasib rakyat Palestina, juga malah bisa menimbulkan masalah di dalam negeri kita sendiri. Khawatirnya terjadi bak kata-kata orang arif bijaksana: Maksud hati ingin memadamkan api di rumah orang yang terbakar tapi karena kita lalai dan tidak menghiraukan konstitusi yang ada, akibatnya malah rumah kita sendiri yang terbakar, dan kita tentu saja tidak mau hal itu terjadi.
*] Penulis, adalah 1) Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan dan 2) Wakil Ketua Umum MUI.