OLeh Dr. Ina Heliany Dosen FH Pidana IBlam Jakarta
IMBCNEWS Jakarta | Dua hari sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) Memutuskan Juditial Revew (JR) terhadap Pasal 40 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Prof. Dr. Mahfud MD memulis sebuah opini dalam koran ibu kota dengan judul ” Peringatan Hatta dan Fakta Hitler” (20/8/24). Inti dari tulisan itu antara lain menyoroti kerapuan sistem demokrasi di Indonesia saat ini.
Mengutip pemikiran Bung Hatta (Wapres RI tahun 1945) Mahfud menyebutkan, “Jika Demokrasi tidak dikelola dengan benar, kedaulatan rakyat akan menjadi perkakas untuk memakan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi dapat membunuh demokrasi.”
Tulisan Prof. Mahfud MD Guru Besar Univ. Islam Indonesia itu, bagian dari kerisauannya melihat Ketua Umum Golongna Karya (Golkar) Ir. Airlangga Hartarto, seolah dipaksa mengundurkan diri. Rumor yang beredar, “kalau tidak mundur dari Ketum Golkar, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dari Kejaksaan Agung, akan segera di beri nomor dan tanggal, dan saat itu pula ia akan dijadikan orang sebagai tersangka korupsi terkait kuota ekspor minyak goreng.
Selain itu, Pemerintah di bawah Presiden RI Joko Widodo seolah menjadi orkestra politik, karena ia terlibat dalam usaha “cawe-cawe” menghantarkan Putra sulungnya Gibran Rakabumingraka, menjadi Wapres terpilih 2026 -2029 dan mendorong menantunya menjadi calon Gubernur Sumatera Utara. Dengan dia menjadi orkestra politik, semua partai seolah dapat dikendalikan untuk bergabung kecuali satu partai PDIP.
Singkat kata, PDIP baik di Jakarta, Jawa Tengah, Surabaya dan Medan tampak ditingalkan dengan partai lain, jika tidak ingin disebut “ditelikung” karena semua partai diborong oleh tangan “jahat” untuk bergabung kedalam Kualisi Indonesia Maju (KIM Plus). Jika mereka tidak bergabung, siap-siap ada rapor merah yang dapat menangkap atau menerornya.
Pasca MK mengeluarkan Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 pada Selasa siang, pokok isinya mengabulkan gugatan uji materi Partai Buruh dan Partai Gelora tentang ambang batas pencalonan Gubernur dan wakil kepala daerah yang tidak hanya berpijak dari perolehan kursi di dalam DPRD, tetapi juga peserta Pemilu yang tidak mendapatkan kursi, tetap dapat menyalonkan wakilnya selama partai atau partai gabungan mendapatkan suara 6,5 persen dari jumlah pemilih antara 6-10 juta DPT.
Putusan MK itulah yang membuat patai yang tergabung dalam KIM Plus, tungang langgang dan tampak “kebingungan” karena akan ada calon Gubernur yang akan menyaingi calon dari KIM Plus. Oleh karena itu, para anggota partai di legislatif ingin memaksa mengutak-atik Putusan MK agar tidak dapat dilaksanakan oleh KPU melalui revisi UU Pilkada.
Cara untuk memaksa dan merebut kekuasaan seperti itu oleh Mahfud MD bagian dari Fakta yang pernah dilakukan Adolf Hitler. Adolf Hitler, seorang diktator sekaligus pemimpin Nazi Jerman yang dikenal tokoh bengis degan orang-orang Yahudi, dan membunuh sekitar 6 juta orang selama 1933-1945. Mafud MD mengingatkan agar rakyat tidak membiarkan jika ada tokoh yang bersifat seperti Adolf Hitler.
Putusan MK Kemenangan Rakyat
Putusan MK bagian dari kemenangan Rakyat. Mengapa ? Dalam Ketentuan Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 menyebutkan, “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”
Dengan begitu dimungkinkan sulit akan dicapai oleh satu partai untuk mendapatkan suara 25 persen karena jumlah partai peserta pemilu lebih dari 10 partai. Oleh karenanya, ada seting agenda untuk menekan para ketua partai bergabung dalam satu partai untuk mencalonkan calon pilihannya dengan menyisakan satu partai PDIP mislanya dijakdikan lawan politik. Seperti daerah DKI, dimana hanya partai PDIP -lah yang tidak diajak bergabung.
Oleh karenanya dengan adanya Putusan MK No. 60/2024 menjadikan pimpinan partai menjadi buyar lantaran Putusan MK menganulir Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menyebutkan, antara lain Pasal itu harus diartikan,
“partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur: a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% (sepuluh persen) di provinsi tersebut; dan
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen) di provinsi tersebut; dan provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah
paling sedikit 6,5% (enam setengah persen) di provinsi tersebut Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon
walikota dan calon wakil walikota.
Putusan itu disebut banyak pihak bagian dari kemenangan rakat karena partai politiik peserta pemilu dapat mencalonkan tidak harus mendapatkan kursi di DPRD. Inilah kemungkinan tokoh DKI Anes Rasjid Baswedan dapat maju sebagai calon Gubernur DKI pasca adanya putusan MK, meskipun hinga kini masih terbentur pada syarat yang ditentukam oleh partai.
Dalam sistem poliik, dikenal dengan sistem demokrasi ala barat, sosialis dan sosialis Komunis. Miriam Budiardjo (2008) Dasar-dasar ilmu Politik menyebutkan, pasca Perang Dunia, di kawasan Afrika, Asia tengah dan Asia Selatan termasuk Indonesia, sistem pemerintahan tidak mudah ditetapkan, lantaran adanya tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat yang tinggi, kemiskinana yang cukup besar, masyarakat agraris dan adanya starta di kalangan masyarakat.
Pada titik itu, Penguasa akan mudah mengatur pikiran rakyat dengan berdalih, menjaga kestabilan politik dan keamanan, penting demi menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, sehingga rakyat mudah untuk ditindas atau dikelabuhi, karena para pemimin publik dan pemimpin partai tampak dikendalikan oligarki.
Jika tingkat kesenjangan kian menurun maka kesadaran masyarakat untuk berdemokrasi akan naik. Pada intinya, di Indonesia bagaimana rakyat dapat menjaga agar penguasa tidak otorier dan partai tidak menjadi benalu atau partisan dengan kekuasaan.
Putusan MK No 60 Tahun 2024 sesungguhnya memberikan asas kesetaraan kepada partai peserta pemilu baik yang mendapatkan kursi di dalam DPRD maupun yang tidak mendapatkan kursi.
Saat adanya Putusan itu, tampaknya Penguasa bersama belasan partai yang tergabung ingin “melakukan kutak-kutik” agar rakyta tidak memiliki banyak piihan namun fakta dilapangan, kesadaran politk masyarakat kian menguat dan akhinya, sebagian masyarakat mengoreksi melalui parlemen jalanan hingga penguasa dan partai yang ingin melakukan persengkokolan jahat dapat rubuh dan akhirnya menyaerah untuk tidak lagi melanjutkan pembahasan RUU Pilkada.
Penulis Ketua Prodi S2 IBLM Jakarta.