IMBC NEWS, Jakarta | Ungkapan berkesan ‘angkat tangan’ Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Non Yudisial Sunarto, sekali pun teriringkan mohon maaf berkait upaya pemberangusan makelar kasus (markus) pada proses penanganan perkara, memperoleh sorotan tajam.
Salah seorang yang kencang menyoroti, adalah Dewan Pembina Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia (LEHI), Prof. Dr. Gayus Lumbuun. Hal itu terungkap di celah-celah perhelatan Diskusi Publik bertajuk: Pembenahan Lembaga Peradilan Sebuah Solusi di Tengah Ketidakpastian Penegakan Hukum di Indonesia.
Pada acara diskusi Rabu (14/12/2022) sore itu, Gayus Lumbuun yang juga Hakim Agung (2011-2018) menjadi salah satu Nara Sumber yang dihadirkan panitia. Acara ini berlangsung di Hotel Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Nara sumber lain adalah Prof Dr Zainal Arifin Hoesein SH MH (Guru Besar FH UMJ), Dr St Laksanto Utomo SH M Hum (Ketua LEHI), Prof Dr Faisal Santiago SH MM (Guru Besar FH Univ Borobudur Jakarta), dan Bivitri Susanti SH LLM (Ahli Hukum Tata Negara/Pengajar STHI Jentera Jakarta, dengan Moderator Dr Theo Yusuf SH MH (Wartawan Senior ANTARA).
Menyoal pernyataan Wakil Ketua MA Sunarto yang menyatakan, pergerakan makelar kasus dengan mengurangi, ruang geraknya; Menurut Gayus Lumbuun, pernyataan tersebut cenderung mengkhawatirkan, karena seolah telah menyerah untuk melakukan perbaikan atau melawan makelar kasus alias markus.
“Wakil Ketua MA menyuarakan kesannya sudah patah semangat. Sudah angkat tangan untuk memberantas mafia peradilan. Kalau itu betul beliau mengatakan seperti itu lho ya, tapi mudah-mudahan tidak seperti itu,” sebut dan harap Gayus Lumbuun.
Ia kemudian mengemukakan, kalau itu merupakan pernyataan lembaga, maka dikhawatirkan teori kejahatan yang berdaulat akan tetap hidup di lembaga peradilan. Artinya, yang namanya kejahatan kalau sudah tidak sanggup lagi diatasi atau diberantas, maka akan berdaulat.
Menurut Gayus Lumbuun kepada awak media seusai diskusi, apa pun ceritanya Negara tidak boleh mengabaikan keadilan bagi rakyatnya.
“Kalau misal hakimnya jual-beli perkara, bagaimana korbannya, apakah ini mau dibiarkan? Sekali pun hakimnya dipenjara yang rugi tetaplah rugi. Seperti ini ‘kan tidak adil,” katanya, seusai acara diskusi sebagaimana yang juga dilansir Gatra.
Mantan Hakim Agung tersebut menjelaskan, saat ini memang banyak lembaga di luar pemerintahan, termasuk LEHI yang melakukan eksaminasi putusan pengadilan yang dinilai kontroversial di tengah masyarakat.
“Ini kalau lembaga-lembaga di luar pemerintah tidak ada manfaatnya. Karena, hanya meneliti bahwa ya ada pelanggaran namun tidak ada efeknya kepada korban,” katanya.
APPTHI yang kini melahirkan LEHI, sebut Gayus Lumbuun, beberapa tahun silam telah memberikan masukan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Joko Widodo. Masukan tersebut disampaikan, pasca-adanya hakim agung yang diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap terkait penanganan perkara.
“Jika Presiden mau memperhatikan apa yang telah digagas Pak Laksanto dan kawan-kawan, sudah pernah dipanggil presiden dalam bentuk ratas beberapa tahun lalu,” ungkap Gayus Lumbuun.
Ia juga menyampaikan, pihaknya mengusulkan agar Negara membentuk lembaga yang bertugas mengeksaminasi putusan perkara bermasalah. Lembaga tersebut khusus menangani putusan-putusan peradilan atau hakim yang dinilai kontroversial dan menarik perhatian publik karena adanya suap.
“Saya tetap mengusulkan agar Pemerintah membentuk lembaga nasional bernama eksaminasi. Lembaga inilah yang akan mengurusi korban-korban itu,” katanya. (asy/tys/IMBCNes-sumber lainnya: telusur dan gatra)