Oleh Saykhan Alatas. SH.,MH, praktisi hukum tinggal di Jakarta.
IMBCNEWS Jakarta | Eskalasi masalah pemilu 2024 berpotensi semakin mendegradasi demokrasi dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Kejanggalan yang terjadi menimbulkan banyak pertanyaan, , bukan hanya margin error hasil penghitungan sementara KPU yang mencuri perhatian publik, namun banyak hal lain yang seakan menggambarkan telah terjadi sesuatu yang disiapkan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Jika terjadi hal itu bukan saja terjadinya kejanggalan demokrasi, tetapi juga anomali sistem demokrasi Pancasila.
Mulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor. 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi “kendaraan ” bagi Gibran Rakabuming Raka, salah satu anak Presiden untuk ikut serta kontestasi Pemilu. . Putusan MK itu pada faktanya membuat Ketua MK Anwar Ustman diberikan sanksi etik oleh Ketua MKMK, berupa pemberhentian sebagai Hakim Ketua MK, Jimly Asshidiqie (Ketua MKMK) dalam Putusannya, No 02/MKMK/L/11/2023 memutuskan Anwar Ustman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama,
Putusan itu berkaitan hubungan antara Anwar Ustman dengan Gibran sebagai kemenakan Anwar, yang pada akhirnya dapat ikut serta dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai Cawapres.
Pelanggaran etik kembali terjadi, kali ini Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan perkara Nomor. 135-PKE-DKPP/XII/2023, 136-PKE-DKPP/XII/2023, 137-PKE-DKPP/XII/2023, 141-PKE-DKPP/XII/2023, dengan sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika itu tidak atau belum menyesuaikan Peraturan KPU (PKPU) terkait pendaftaran Capres-Cawapres berkaitan dengan Putusan MK. 90 tersebut, yang mengakibatkan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, selain itu enam anggota KPU juga dijatuhi sanksi peringatan keras, yakni M Afifuddin, Parsadaan Harahap, Betty Epsilon Idroos, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.
Semua itu mengakibatkan terjadinya hal yang tidak lazim, dimana prosedur yang dilalui untuk aturan terkait batas umur Capres-Cawapres tersebut mengandung cacat etik dengan terjadinya serangkaian pelanggaran etik, namun substansi dari aturan tersebut harus diterima dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini mengundan dan membuka ruang diskusi yang cukup besar, dimana sebagian ahli mengatakan bahwa Putusan MK bersifat final and binding sehingga serangkaian pelanggaran etik yang terjadi tidak berpengaruh dan tidak dapat membatalkan substansi dari Putusan tersebut.
Ya, tidak ada yang salah dari maksud terminologi final and banding, namun perlu diketahui hukum itu erat dengan kewenangan, karena sejatinya kewenangan dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum.
MK juga merupakan lembaga Yudikatif yang sebab kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berwenang untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945 atau judicial review sebagai salah satu kewenangan MK yang bertujuan untuk menguji UU secara formil dan materiil. Secara formil, MK dapat menyatakan proses pembentukan UU telah sesuai atau tidak sesuai ketentuan pembentukan UU sebagaimana dimaksud UUD 1945. Sedangkan secara materiil, pengujian ditujukan terhadap materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.Berdasarkan kewenangan untuk menyatakan UU bertentangan dengan UUD 1945 tersebut, MK juga disebut sebagai negative legislator.
Negative legislator adalah tindakan MK yang membatalkan norma yang ada dalam suatu UU bila bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan positive legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada lembaga negara yaitu DPR dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan untuk membuat norma. Maka dapat disimpulkan MK hanya berwenang untuk menjalankan peran sebagai Negative legislator dan tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma baru layaknya legislatif (DPR dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan sebagai positive legislator untuk membuat norma baru. Maka, terkait norma baru dalam Putusan 90, dapat dikatakan MK telah melakukan ultra vires dan melampaui kewenangannya.
Prof. Satjipto Rahardjo, menyebutkan, hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, manusia akan menjadi penentu titik orientasi hukum, hukum bertugas melayani manusia karena hukum tidak bisa terlepas dari kepentingan manusia yang lebih luas (volente generale). Mutu hukum di Indonesia harus selalu dijaga dan itu semua ditentukan oleh kemampuan hukum untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, terlebih dalam dinamika pemilu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bukan hanya itu, statement Presiden yang mengatakan akan “cawe-cawe” dan “boleh memberikan dukungan terhadap salah satu paslon (kampanye)” rasanya juga kurang pantas, karena sebagai Pejabat negara, Presiden sebagai eksekutif yang memiliki kelengkapan “infrastruktur dan suprastruktur” akan dengan mudah mengarahkan kemenangan kepada salah satu paslon jika itu dimanfaatkan, tentu hal demikian sangat tidak diharapkan, karena akan memberikan dampak ketidak adilan bagi keberlangsungan pemilu itu sendiri.
Pemilu 2024
Terkait pemilu 2024, , KPU sebagai lembaga yang diberi mandat oleh Pemerintah sebagai penyelenggara pemilu, memiliki beberapa kendala teknis yang dialami, KPU sendiri mengakui telah terjadi margin error dalam website KPU terkait rekapitulasi penghitungan suara, namun kejanggalan kembali terjadi, dimana margin error berimbas pada penggelembungan suara salah satu paslon.
Hal ini memicu pertanyaan publik tentang profesionalisme KPU. Ditambah hasil sementara dari quick count yang ditayangkan dari lembaga-lembaga survey tidak jauh berbeda perhitungannya dengan rekapitulasi sementara dari KPU yang mengalami margin error.
Wajar jika hal-hal seperti ini membuat publik bertanya-tanya tentang JURDILnya pemilu. Memang quick count tidak menentukan hasil final, namun sudah barang tentu mindset masyarakat akan terpengaruh oleh quick count tersebut.
Hal-hal semacam ini perlu untuk terus diperhatian dan diperbaiki, mulai dari dugaan penyelundupan hukum, hingga riak-riak ketidakpuasan masyarakat pasca pemungutan suara, ini semua menjadi PR besar bagi negara. Ditambah lagi pada Kamis, 15 Februari 2024, melalui Putusan Sela Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas perkara gugatan nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, petitum mantan Hakim Ketua MK (Anwar Ustman) dikabulkan, walaupun belum final, namun ini membuka peluang untuk yang bersangkutan kembali mengemban jabatan sebagai Hakim MK.
Hal demikian tidak boleh terjadi, dugaan-dugaan kecurangan pemilu yang terstruktu, sistematis dan masif harus dihilangkan. Jika semua itu terjadi, hukum harus dikedepankan, hukum harus cermat dalam merespon hal-hal yang tidak sejalan dengan tujuannya.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya (Philippe Nonet, 2001). Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum menjadi subordinasi dari politik. Dimana hukum mengikuti politik. Dengan kata lain, hukum digunakan hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan yang demokratis, hukum terpisah secara diametral dari politik. Artinya, hukum bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa, inilah posisi hukum yang ideal bagi Indonesia.
Penegak hukum harus mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Karena hukum bukan sekedar doktrin yang dianggap sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel, sehingga hukum mampu bersikap kritis dan merespon setiap kebutuhan masyarakat yang lebih besar.
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Hukum tidak dianggap sebagai sesuatu yang statis, mutlak serta final, melainkan hukum harus mampu menunjukan tujuannya untuk mengabdi kepada Masyarakat, sehingga pemilu yang merupakan implementasi dari kadaulatan rakyat, serta momentum untuk pendidikan politik bagi masyarakat, tidak dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,
Imbcnews/diolah