Dr. Encep Saepudin, S.E , M.Si.*
IMBC News | Secara fitrah, usia tua ditandai penurunan fungsi otak sehingga potensial lamban dalam berpikir, bergerak, dan bekerja. Padahal tanggungjawabnya sedang masa puncak beratnya dalam membangun keluarga dan pekerjaan.
Usia boleh tua, tapi jiwa tetap muda. Begitulah narasi wong tuo menghibur diri tatkala menyambut tantangan, apa pun bentuknya, masa depan.
Sebaliknya fitrah pemuda serba ingin tahu, berpikir bebas dan liar, inovatif, bersosialisasi, pencarian jati diri, dan intens. Karenanya, kehidupannya penuh gairah, warna, dan dinamika.
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Begitulah Ir. Soekarno menganalogikan kedahsyatan pemuda dibandingkan orang tua.
Usia muda itu terbatas. Setiap negara punya batasannya sendiri tentang usia muda.
Indonesia antara 16-30 tahun berdasarkan UU No.40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. United National alias PBB membatasi usia muda antara 15-24 tahun. The United States Agency for International Development (USAID) memagar usia pemuda antara 10-29 tahun.
Waduh, mayoritas yang baca hasil ini sudah lewat tahunnya. Ngapain aja selama muda, bang? Ya, minimal bekerja, kawin, serta beranak pinak. Hehehe….
Kawin itu puncak prestasi pemuda. Hanya perkawinan memaksa pemuda menerima sesuatu yang kagak sesuai harapannya dengan ikhlas dan lapang dada. Benar, ngga?
Kemakmuran suatu negara ternyata menurunkan minat kawin. Sejak tahun 2018, populasi usia 10-29 tahun kisaran 2,4 miliar jiwa di seluruh dunia. Padahal populasi dunia sekitar 8 miliar jiwa.
Berdasarkan data PBB, negara-negara makmur di Asia Timur, Eropa, dan Amerika Utara justru menurunkan minat untuk kawin. Alhasil, rasio ketergantungan usia lanjut makin besar. Hemm, belum tahu mereka kalau kawin halal itu lebih enak daripada mengelus-elus harta dan uang.
Sebaliknya negara-negara miskin dan berkembang, rasio ketergantungan pemuda terjadi di seluruh Afrika Sub-Sahara. Artinya, jumlah populasi pemuda hampir sama dengan orang tua.
Rasio makin banyaknya orang tua berdampak ketidakstabilan ekonomi, kesulitan mengatur pekerjaan, dan mengasuh anak. Penurunan ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan, di antaranya masalah sosial dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
China, Jepang, dan Eropa mengumbar janji agar pemudanya mau pada kawin. Insentif pun diberikan, misalnya memberikan laki-laki modal untuk menikah dan pencabutan aturan pembatasan jumlah anak.
Geliat dunia karena pemuda. Tanpa pemuda, dunia kagak bergeliat. Geliat dalam bidang apa pun, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Semua bidang itu bergeliat karena andil pemuda. Andil berupa gagasan, tenaga, waktu, serta tindakan nyata untuk mewujudkan gagasan itu.
Makanya pemuda disebut agent of change. Mengubah apa saja di hamparan bumi ini menjadi berwarna, bernilai, berguna, dan berdinamika. Bahkan menjadikan itu semua sebagai modal untuk menciptakan negara yang disegani kawan dan ditakuti lawan.
Asalkan syarat utamanya terpenuhi, yaitu pemuda beriman dan beramal saleh. Pemuda model ini digambarkan dalam QS Al Anbiya, yang berbunyi: “Mereka (yang lain) berkata,”Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (Berhala-berhala) ini, namanya Ibrahim”.
Berhala bisa bermakna uang, jabatan, kekuasaan, atau apa pun yang dipersamakan dengan Tuhan. Hanya pemuda beriman yang kagak mudah tergiur iming-iming berhala tersebut.
Begitulah saat para pemuda yang memiliki kesamaan dari ratusan bangsa dari berbagai pulau. Mereka kagak percaya berhala dalam bentuk kemerdekaan yang dijanjikan penjajah.
Ketidakpercayaannya dituangkan dalam sumpah, yang kelak menjadi Sumpah Pemuda. Kemerdekaan harus direbut. Harus diperjuangkan. Namun sebelumnya harus memiliki satu kesamaan tekad, yaitu bangsa, bahasa, dan tanah air, yaitu Indonesia.
Kini, setelah 96 tahun berlalu, semangat Sumpah Pemuda mulai luntur. Sudah ada pemuda yang menjadikan harta dan tahta sebagai berhala.
Tanpa malu-malu. Diperolehnya dengan cara kagak malu. Makin sempurna karena lemah kompetensi diri dan dedikasi pada negeri.
Semoga saja Sumpah Pemuda tidak berubah menjadi Pemuda Menyumpah menyaksikan ulah segelintir oknum pemuda berbuat cela. Serapah pada perilaku oknum pemuda yang keluar dari rel kebenaran demi kemahsyuran dunia belaka.
* Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto