Oleh Dr. Ani Purwati, S.H., M.H. ]*
IMBCNews, Jakarta | Penting diingat! Meski pun media sosial menyediakan ruang akselerasi pemenuhan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri, namun menjaga keseimbangan antara validasi eksternal dan pengembangan diri yang lebih dalam jangan sampai terabaikan begitu saja.
Honneth menyebut bahwa rekognisi tersebut sebagai social grammar, yaitu suatu kondisi sosial yang memungkinkan individu untuk saling memperhatikan dan memberikan perhatian. Di media sosial, pengakuan ini sering kali terwujud dalam bentuk viralitas atau solidaritas digital.
Melalui cara ini, pengguna media sosial bisa saja merasa dihargai dan diterima oleh orang lain. Tentu, ini menimbulkan pertanyaan; Apakah pengakuan semacam itu cukup mendukung aktualisasi diri yang lebih dalam, atau justru malah menciptakan ketergantungan pada pengakuan yang sifatnya sementara?
Antony Giddens (1991) menyebutkan, identitas diri dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menceritakan kisah tentang dirinya sendiri, yang menggambarkan perasaan dan pengalaman secara konsisten dari waktu ke waktu. Giddens menyatakan bahwa identitas bukanlah suatu hal yang tetap atau sekadar kumpulan sifat-sifat tertentu, melainkan sebuah narasi yang terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Setiap individu berusaha membangun cerita tentang dirinya yang menghubungkan pengalaman masa lalu dengan harapan untuk masa depan.
Identitas diri ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Apa yang telah dilakukan? Bagaimana cara melakukannya? Siapa saya sebenarnya? Dalam proses ini, individu menciptakan sebuah lintasan hidup yang mencerminkan perjalanan dan perkembangan diri mereka, bukan hanya sifat-sifat yang dimiliki, tetapi juga refleksi diri yang lebih dalam mengenai siapa mereka dalam konteks perjalanan hidup mereka.
Selanjutnya Antony menjelaskan bahwa identitas itu bukan sesuatu yang statis; Melainkan sebuah proses yang terus berkembang seiring waktu, dipengaruhi oleh interaksi sosial dan refleksi diri. Di dunia digital ini, media sosial menjadi tempat utama dimana kita bisa membentuk dan memperbaharui identitas.
Kita tidak hanya menunjukkan siapa diri kita lewat postingan atau gambar yang dibagikan, tetapi juga melalui bagaimana kita merespons feedback dari audiens-teman-teman, pengikut, atau masyarakat luas.
Interaksi yang terjadi di media sosial memberikan kesempatan bagi kita untuk menyesuaikan identitas dengan realitas sosial yang ada. Giddens juga mengemukakan konsep refleksi diri (self-reflexivity), setiap individu secara aktif menilai dan mengatur kehidupannya.
Proses ini diperkuat oleh media sosial, yang memberi feedback dalam bentuk likes, komentar, dan pengikut, yang mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sendiri. Dengan begitu, media sosial menjadi alat yang sangat kuat dalam memperbaharui dan menjaga identitas kita, seiring dengan perkembangan interaksi sosial yang terjadi.
Ditinjau dari konsep identitas diri menurut Giddens, media sosial memberikan ruang bagi individu untuk menceritakan kisah hidupnya, baik melalui postingan, gambar, maupun video. Setiap unggahan dan interaksi di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok menjadi bagian dari narasi identitas individu penggunanya. Pengguna media sosial tidak hanya berbagi momen pribadi, tetapi juga berusaha mengkonstruksi cerita tentang siapa diri, apa yang dilakukan, dan bagaimana individu ingin dilihat oleh orang lain.
Melalui medsos, individu dapat merefleksikan perjalanan hidupnya, membagikan pencapaian, pengalaman, serta nilai-nilai yang dipegang. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Giddens, identitas diri bukanlah sesuatu yang tetap. Di media sosial, identitas ini bisa berubah seiring waktu, tergantung pada pengalaman dan umpan balik yang diterima dari orang lain.
Interaksi di dunia maya memberikan kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai aspek dari dirinya, sekaligus selanjutnya merespons cara orang lain memandang mereka, yang kemudian menyesuaikan identitasnya dengan respon yang diterimanya di media sosial.
Dengan demikian, medsos menjadi alat yang memungkinkan pembentukan dan pembaruan identitas secara dinamis, seiring dengan perjalanan hidup individu yang terus berkembang.
Identitas dan Aktualisasi Diri
Di dunia yang semakin terhubung ini, identitas kita tidak hanya dibentuk oleh interaksi sosial di dunia nyata, tetapi juga oleh media, khususnya media sosial. Giddens menyoroti bagaimana media, baik tradisional mau pun digital, berperan penting dalam pembentukan identitas diri.
Di media sosial, kita sebagai pengguna memiliki kebebasan untuk membangun narasi tentang siapa diri kita dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Identitas yang dibentuk di media sosial menjadi semakin kompleks karena dipengaruhi oleh banyak factor, antaranya persepsi publik, interaksi sosial, dan bahkan algoritma yang ada di balik platform itu sendiri. Namun, di balik kebebasan ini, ada juga tekanan sosial untuk memenuhi norma-norma tertentu yang ada di dunia maya, seperti mengikuti tren atau memenuhi ekspektasi dari audiens.
Tekanan ini sering kali datang dalam bentuk harapan sosial yang dibentuk oleh norma-norma yang berkembang di dunia maya. Maka dari itu, meski pun media sosial menawarkan kebebasan untuk mengekspresikan diri, proses aktualisasi diri kita juga menjadi lebih kompleks, karena kita harus menyeimbangkan antara menjadi diri sendiri dan memenuhi harapan publik yang ada di sekitar.
Bisa jadi agar memenuhi harapan publik dan mendapat pengakuan, aktivitas aktualisasi diri media sosial ini, tidak sedikit individu yang pada akhirnya “mengada-ngada” dan menjadi sosok orang lain yang berbeda dengan dirinya yang asli didunia nyata, hanya demi mendapat pengakuan dan validasi semata.
Fenomena pengakuan, identitas dan aktualisasi diri teresbut menjadi dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat di dunia modern ini sangat erat kaitannya dengan cara kita memanfaatkan media sosial. Pemikiran Honneth tentang rekognisi menunjukkan bahwa pengakuan merupakan elemen penting dalam aktualisasi diri. Sementara Giddens memberi wawasan tentang bagaimana identitas kita terus berkembang melalui interaksi sosial yang kita jalani, baik di dunia nyata mau pun dunia maya.
Media sosial menjadi ruang di mana kita bisa merefleksikan diri dan memperbaharui identitas kita, meski pun ada tekanan sosial yang harus dihadapi. Dalam dunia digital yang terus berkembang pesat, kita harus lebih bijak dalam membentuk identitas dan mengaktualisasikan diri, terutama di media sosial.
Jangan sampai proses ini hanya menjadi upaya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosial semata, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan emosional dan perkembangan pribadi. Sebagai individu, kita perlu lebih sadar akan nilai sejati dalam membangun identitas yang asli diri sendiri, yang tidak hanya bergantung pada pujian atau perhatian dari orang lain.
Sebaiknya, gunakan media sosial sebagai sarana untuk mengembangkan potensi diri, berbagi pemikiran, dan berinteraksi dengan orang lain secara positif. Pengakuan dari orang lain memang penting, tetapi yang paling penting adalah pengakuan yang datang dari diri sendiri, bukan hanya sekadar berdasarkan validasi eksternal. Harapannya, agar terbangun identitas diri yang lebih sehat dan menjadi diri sendiri, serta sesuai dengan tujuan hidup individu masing-masing, tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang bisa saja merugikan diri sendiri, bahkan keluarga dan orang-orang terdekat.
*** habis —
]* Penulis tengah menempuh Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta, Dosen Pascasarjana Universitas Sahid FH dan Praktisi hukum dalam Ani Purwati Lawfirm & Partners