IMBCNEWS Jakarta | Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, SH., sekaligus Ketua Dewan Pembina Jimly School of Law and Government (JSLG) mendorong agar masyarakat dapat mempengaruhi presiden terpilih tahun 2024 siapapun dia yang akan terpilih, untuk membebaskan tahanan politik atau tahanan yang beda pilihan politiknya.
“Siapapun dia yang terpilih jelas programnya,” katanya singkat.
Penjara itu mestinya diisi oleh mereka yang benar-benar penjahat atau kriminal, koruptor atau perampok, bukan diisi oleh orang yang beda politik atau orang yang mengkritik kebijakan pemerintah, kata Prof. Jimly dalam pengantar umum diskusi Kajian Konstitusi yang dilakukan oleh JSLG episode ke-66, bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM), pada Jumat 19 Januari 2024.
Dikatakan, saat tahun 1998 saya diminta pendapat oleh Presiden Bj Habibie soal program kerja 100 hari, maka saya usulkan untuk membebaskan tahanan politik yang saat ini masih dalam penjara. Presiden Habibe saat itu senang sekali, dan akhirnya ditunaikan dan keluarlah aturan Kepres soal pembebasan para tahanan politik, kenang Prof. Jimly, serta menambahkan tahanan itu yang mau tobat hanya 30 persen, sedangkan 40 persennya bisa kumat dan selebihnya dapat mengulang lagi. “Intinya penjara itu agar tidak penuh mereka yang benar-benar penjahat saja bukan orang yang dinilai pikirannya salah,” katanya.
Diskusi kajian konstitusi dengan bahasan buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. dengan Judul “Oligarki dan Totalitarianisme Baru, dengan moderator Dr. Wahyu Nugroho, SH MH. Jimly menyampaikan,
rumusan yang lebih baru soal “oligarki dan totalitarianisme baru adalah menyatunya empat kekuasaan dalam satu tangan (quadru politica).
Empat pilar dalam demokrasi dalam kamus lama adalah eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers sebagai pilar keempat. Namun dalam terminologi baru, quadru politica bisa disebut state, bisnis, civil sociaty dan media.
Jika keempat itu dikuasai oleh kelompok kecil untuk mengendalikan penguasa, itu namanya quadru politica gaya baru, katanya.
Saat Adol Hitler tahun 1934 – 1945 berkuasa di Jerman, pernah terjadi kekusaan dipegang dalam satu genggaman tangannya, karena itu tidak ada kebebasan pers, dan bahkan kehidupan private dikontrol termasuk kegiatan bisnis dikendalikan oleh Hitler.
Abad ke 20 ada koreksi tehadap totaliraanisme itu dari ahli tata negara, yakni memisahkan kekuasaan dari satu tangan, utamanya antara pelaku bisnis dengan pusat kekuasaan.
Namun dalam Kasus AS saat Presiden ke 45 Donald Trump berkuasa, aturan itu tidak berlaku karena Trump saat dikritik pers, mengatakan, aturan itu tidak mengatur dirinya, sehingga anak cucu dan menantu Trump bebas melaukan pertemuan bisnis di istana kepresidenan AS.
“Saat Presiden AS Donal Trum itulah praktik oligarki gaya baru cukup meluas di berbagai tempat, dan tentunya kita harus memerangi model-model seperti itu agar Indonesia menjadi bangsa yang besar dan lebih beradab,” katanya.
Diskusi konstitusi itu yang diawali pembukaan atau sambutan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM) Dr. Amri Panahatan Sihotang, menghadirkan narasumber tokoh HAM Indonesia Haris Azhar, SH. MA., yang baru saja bebas dari jeratan hukum atas delik mencemarkan nama seorang pejabat.
“Saya dan Fatia saat ini bebas dari tuntutan hukum meski jaksa melakukan banding. Masalahnya, di dalam penjara masih banyak orang yang ditahan hanya karena mengkritisi pemerintah termasuk mengkritik kebijakan UU apakah Omnibus Law atau Proyek Strategis Nasional (PSN),” katanya.
Tugas kita mendorong Presiden ke depan tidak hanya jago dalam berorasi dan dalam tataran debat, tetapi mau mengimplementasikan masalah-masalah yang substantif untuk kepentingan bangsa seperti memberikan ruang kebebasan publik untuk tidak dikenakan teror, intimidasi atau pemenjaraan, katanya.
imbcnews/diolah/