IMBCNEWS, Jakarta | Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Pancasila (UP) Prof. Dr. Agus Surono SH MH., mengatakan, adanya gagasan pembahasan perampasan asset negara saat ini mendesak untuk dibahas baik oleh kalangan akademisi mau pun para pembuat Undang-undang yakni pemerintah dan DPR.
“Jika RUU itu dapat segera dijadikan UU, diharapkan akan membantu aparat hukum baik Kejaksaan mau pun Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mudah untuk melakukan penyitaan asset yang digelapkan itu,” kata Prof. Agus di Jakarta pada Kamis.
Ia dimintai tanggapannya oleh IMBCNews terkait gagasan perampasan asset negara yang hingga kini DPR dan pemerintah belum melakukan pembahasan secara serius.
Pemerintah dan DPR, sebut dia, seyogianya terus melakukan diskursus soal perlunya ada UU penyitaan asset negara untuk membantu memudahkan negara mengembalikan asset yang dicuri, dikorup oleh orang-orang yang kurang bertangung jawab.
Menjawab pertanyaan, bukan hanya kelompok akademisi dari kampus-kampus, tetapi juga perlu melibatkan ikatan antikorupsi, ahli money laundry, para pakar, praktisi hukum berkumpul yang dapat memberikan masukan yang kongkret kepada DPR.
Ia mengatakan, ditengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan, urgensi pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kembali digaungkan. RUU itu sejak 2006 sudah digaungkan, tetapi hingga kini belum juga kunjung sebagai UU.
“UU itu tidak hanya digunakan untuk merampas aset para koruptor, tapi juga pelaku tindak pidana ekonomi lainnya, seperti pengusutan perolehan harta dalam kasus para pejabat yang menggelapkan pajak, TPPO, hingga harta-harta yang didapatkan dari perdagangan narkoba,” katanya.
Sebelumnya Dekan Fakultas Universitas Pancasila Prof. Eddy Pratomo dan Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Fakultas HUkum Universitas Pancasila M. Hatta Ali mengatakan, pembuatan UU ada partisipasi aktif dari seluruh masyarakat Indonesia, jadi jangan sampai UU baru disahkan seminggu kemudian sudah diajukan juducial riview ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini kan jadi suatu bukti bahwa UU yang baru disahkan tidak ada masukan dari seluruh stakeholder Indonesia,” katanya.
Prof. Eddy mengatakan jika Indonesia tak punya UU Perampasan Aset maka sulit untuk mengambil alih aset yang merupakan hasil tindak pidana seperti korupsi.
Nantinya, kata Prof. Eddy seharusnya RUU Perampasan aset juga harus mengakomodir prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak azasi manusia, yang diakui secara nasional dan internasional
“Jika tidak ada UU perampasan aset maka efek jera tidak ada. Ini merupakan salah satu upaya. Memang pembahasan akan hangat karena banyaknya kepentingan-kepentingan,” katanya.
Dikatakannya banyak aset di luar negeri diduga hasil tindakan pidana yang ilegal yang dilarikan, baik hasil korupsi dan tindak pidana yang lain. Bagaimana bisa mengembalikan lagi ke Indonesia karena negara lain mempunyai sistem hukum yang berbeda.
Sementara itu Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof. M. Hatta Ali mengatakan RUU Perampasan Aset tak mudah menjadi UU karena harus menyesuaikan dengan UU yang terkait yaitu UU Tipikor, KUHP termasuk koorporasi dan lainnya.
“Harus dilihat terlebih dahulu karena jangan sampai bertentangan antara satu dengan yang lain, hal ini mungkin jadi faktor hingga sampai sekarang ini RUU Perampasan Aset belum terwujud,” katanya. (tys/imbcnews-sumber diolah)