IMBCNews, Jakarta | Proyek Strategis Nasional (PSN) bagian siasat untuk menumbuhkembangkan oligarki gaya baru karena mereka yang mendapatkan program PSN adalah orang-orang yang dekat kepada pusat kekuasaan temasuk para menteri pembantu presiden.
“PSN itu hanya lah siasat untuk mendapatkan keuntungan secara cepat dan murah karena semuanya dilegalkan oleh pemerintah melalui kebijkannya,” kata Aktivis Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar salah satu nara sumber diskusi Konstitusi yang digelar Jimly School of Law and Government (JSLG) Jakarta kerjasama dengan Universitas Semarang, Jumat (19/1/2024).
Dikatakan, salah satu pengaturan mengenai Proyek Strategis Nasional (PSN) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang jumlahnya tergantung kepentingan para pengambil kebijakan itu karena naskah akademiknya gelap.
“PSN itu mudah digeser kesana dan kemari. Maka tergatung dari kepentingna mereka, karena naskah akademiknya gelap,” kata Azhar menegaskan.
Menjawab pertanyaan ia mengatakan, alasan untuk membuat PSN absurd, yakni demi investasi, pemasukan uang negara, pajak dan menyerap tenaga kerja.
“Semua itu enak di dengar namun apakah sesuai dnegan faktanya ? Mari kita cek dilapangan.,” ajak Azhar.
PSN itu, menurut Azhar, yang paling bahanya merampas hak orang-orang yang hidup di wilayahnya; Mereka tercerabut dari akar budayanya. “Kasus Rempang di Batam salah satu di antaranya, temasuk poyek food estate yang nilainya sekitar Rp108,8 trilun untuk tahun ini,” sebutnya.
Dalam diskusi Buku bertajuk: Oligarki dan Totalitarianisme Baru, tidak hanya mengupas konsep, hakikat oligarki, dan totalitarianisme klasik. Akan tetapi juga buku ini menyuguhkan insight tentang totalitarianisme baru dan variannya, sehingga mengigatkan tentang bahaya oligarki dan totalitarianisme yang berpotensi merusak demokrasi.
Oligarki dan Totalitarianisme Baru, adalah salah satu buku karya Prof. Dr. Jimly Assidiqie, S.H., M.H. Pada buku ini Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003-2008 tersebut membawa isu-isu politik kontemporer ke hadapan publik, khususnya di Indonesia.
JSLG kerjasama dengan FH USM yang menggelar diskusi mendalam itu berkaitan juga dengan fenomena politik modern yang semakin berkembang. Adalah fenomena politik dewasa ini yang cenderung mengarah kepada gejala oligarki dan totaliter yang baru.
Dalam arahannya, Jimly menjelaskan tentang pentingnya mendeteksi dan mencegah penumpukan kekuasaan yang berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi.
Ringkasan buku Oligarki dan Totalitarianisme Baru sebagaimana dikemukakan moderator diskusi Dr Wahyu Nugroho, MH., terungkap, seiring dengan perkembangan zaman, muncul gejala baru yang perlu mendapat perhatian.
Ungkapan itu jelas sejalan dengan arahan Jimly yang menjelaskan konten bukunya bahwa konsep Montesquieu tentang trias politica telah berkembang menjadi konsep quadro politica, yang menambahkan media sebagai kekuatan keempat kekuasaan dalam demokrasi.
Lebih jauh Jimly mengemukakan bahwa konsep quadro politica arahnya membedakan kekuasaan media menjadi dua jenis, yaitu mikro dan makro. Ada pun kekuasaan mikro mencakup eksekutif, legislatif, yudikatif, dan cabang campuran termasuk mencakup lembaga-lembaga seperti Bawaslu dan KPU.
Dekan FH USM Dr Amri Panahatan Sihotang, SS., SH., M Hum., dalam sambutannya mengajak mahasiswa dan pengajar, bidang hukum serta serta lapisan masyarakat, untuk lebih mendalami hal mendasar yang telah dicakup dalam konstitusi negara penganut demokrasi, sehingga orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah terbebas dari tuntutan hukum. (Asy: ILSG-USM/zoom)