IMBCNEWS Jakarta | – Thailand kembali melantik perdana menteri (PM) baru. Parlemen Negeri Seribu Pagoda menetapkan putri miliarder Thaksin Shinawatra, Paetongtarn Shinawatra, sebagai PM, Jumat (16/8/2024). Ia adalah putri termuda menjadi Perdana Menteri Thailand selama ini.
Figur berusia 37 tahun itu menggantikan PM sebelumnya, Srettha Thavisin, yang lengser awal pekan ini. Srettha diberhentikan Pengadilan Thailand lantaran melanggar etika dengan mengangkat seorang menteri yang menjalani hukuman penjara.
Mengutip AFP, Paetongtarn diketahui menang dengan menguasai hingga lebih dari 60% suara parlemen.
“Anggota parlemen menyetujui Paetongtarn dari Partai Pheu Thai sebagai perdana menteri dengan 319 suara berbanding 145,” ujar salah satu anggota parlemen Thailand, Wan Muhamad Noor Matha, dalam sebuah siaran televisi.
Paetongtarn sendiri merupakan figur ketiga dari keluarga Shinawatra yang menjadi PM Thailand. Sebelumnya, jabatan itu sempat dipegang oleh ayahnya Thaksin Shinawatra dan bibinya Yingluck Shinawatra.
Namun keduanya digulingkan dalam sebuah kudeta kekuasaan yang dipimpin militer. Dengan sejarah ini, Paetongtarn berharap dapat menghindari nasib yang dialami ayah dan bibinya.
Secara profil, Paetongtarn tumbuh besar di Bangkok dan belajar manajemen perhotelan di Inggris. Ia kemudian menikah dengan seorang pilot komersial dan sekarang memiliki dua orang anak.
Sebelum terjun ke politik, Paetongtarn membantu menjalankan divisi hotel dari kerajaan bisnis Shinawatra. Ia kemudian terjun ke dunia politik pada akhir tahun 2022 dan akhirnya memegang jabatan tertinggi di Partai Pheu Thai.
Bayang-Bayang Sang Ayah
Meski berhasil menang, pertanyaan besarnya adalah seberapa besar pengaruh yang akan diberikan Thaksin kepada putrinya. Pria berusia 75 tahun itu telah memberikan bayangan yang luar biasa pada politik Thailand selama lebih dari dua dekade.
Thaksin dikenal mengubah politik Thailand pada awal tahun 2000-an dengan kebijakan populis yang membuat dirinya dan partainya memperoleh dukungan dari rakyat pedesaan. Namun, keberhasilan itu harus dibayar dengan harga mahal.
Ia dibenci oleh para elit Thailand yang berkuasa dan kaum konservatif. Mereka menganggap pemerintahannya korup, otoriter, dan mengganggu stabilitas sosial.
Setelah digulingkan sebagai PM oleh militer pada tahun 2006, Thaksin mengasingkan diri dua tahun kemudian. Walau begitu, ia tidak pernah berhenti mengomentari urusan nasional.
Ia kembali ke negara itu tahun lalu, tepat pada hari ketika Srettha menjadi PM. Thaksin segera dipenjara atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang terjadi sejak ia berkuasa, tetapi dibebaskan lebih awal, yang memicu rumor tentang kesepakatan gelap.
imbcnews/cnbc/diolah/