Oleh H. Anwar Abbas *]
IMBCNews | Kaget juga saya membaca pikiran Sandiaga Uno yang melihat sesuatu hanya dari sisi ekonomi saja. Padahal, beliau adalah seorang menteri. Seharusnya, bila sudah jadi menteri jangan lagi menjadi pedagang dan atau politisi. Akan tetapi, dia harus menjadi negarawan; Dimana, kalau dia akan melakukan sesuatu kebijakan, maka harus memikirkan apa dan bagaimana dampak sosial dari kegiatan dan tindakan yang hendak dilakukannya.
Melihatnya tentu harus komprehenshif terhadap semua sisi dan segi dari kehidupan kita sebagai sebuah bangsa yang Berketuhanan di atas dasar Negara Pancasila. Jadi, melihatnya, bukan dari sisi ekonomi an-sich.
Jika kegiatan yang akan dilakukan tersebut sesuai dengan Pancasila dan hukum dasar kita UUD 1945, silakan dilaksanakan. Hanya saja, kalau tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hendaknya jangan dilanjutkan. Karena hal demikian berarti, selain telah berkhianat kepada negara juga jelas-jelas akan sangat merugikan dan melukai hati rakyat banyak.
Pada hal yang mendasar itu pulalah letak masalah kita sekarang ini. Kita, sebagai sebuah bangsa karena banyak dari para pemimpin di negeri ini yang sudah tidak lagi berpikir ideologis dan Pancasilais, melainkan sudah sangat liberal dan pragmatis.
Kita dapat lihat atau saksikan, banyak sekali para pemimpin dan pejabat di negeri ini sudah berpikir dan bertindak seperti George Soros; Di mana, yang besangkutan ketika diberitahu bahwa dia tidak disukai di Thailand, Malaysia dan di Indonesia, dia dengan enteng menjawab ” I am basically there to make money and I cannot and do not look at the social qonsequences of what I do “. Hal seperti ini tentu tidak boleh kita tiru.
Oleh karena itu pula, saya mengharapkan kepada pihak pemerintah agar jangan hanya berfikir untuk mengejar uang saja. Akan tetapi juga, kita harus pikirkan dampak dari tindakan yang kita lakukan terhadap akhlak, moralitas dan budaya bangsa. Apalagi, dalam konstitusi Negara Republik Indonesia dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 jelas-jelas dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal demikian artinya tidak boleh ada di kegiatan yang kita lakukan di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran agama. Di negeri ini, ada 6 agama yang diakui oleh negara; Di mana, tidak ada satu agama pun dari keenam agama tersebut yang membenarkan dan mentolerir praktik LGBT.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak lagi memperhatikan ketentuan yang ada dalam konstitusi untuk meraup uang sebanyak-banyaknya dengan mendatangkan kelompok musik pendukung LGBTQ+ yang bernama Coldplay untuk tampil melakukan konser di negeri ini?
Untuk itu, saya menghimbau Sang Menparekraf agar tidak melanjutkan rencananya untuk mendatangkan Coldplay, karena mendatangkannya jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 terutama pasal 29 ayat 1. Dan hal demikian juga jelas akan merusak akhlak dan moralitas dari anak-anak bangsa. Kita masih berharap, hal-hal yang berpotensi sebagai penyebab dekadensi akhlaq dan moral, tentu saja tidak kita inginkan jika dipraktikan.
*] H Anwar Abbas, penulis, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)