‘IMNCNEWS Jakarta, Sejumlah penganut agama minoritas di Indonesia berharap pemerintah Indonesia mengakui keberadaan mereka, sehingga bisa mengisi kolom agama di kartu identitas kependudukan (KTP) sesuai dengan keyakinannya.
Alasannya, tanpa pengakuan dari negara, mereka mengaku mengalami diskriminasi di ruang publik dan tidak bisa leluasa menunjukkan identitas diri. Dihadapkan kenyataan seperti itulah, sebagian mereka lalu mengaku memilih mengisi kolom agama di KTPnya dengan salah-satu agama yang sudah diakui negara, demi ‘keamanan’ dan ‘tidak didiskriminasi’.
Dikatakan, mereka memilih melakukan hal itu dengan sadar, walaupun disebutnya ‘membohongi diri, kata seorang sumber yang tak disebut namanya, dikutip BBC News Indonesia di Jakarta, Rabu.
Dirjen Dukcapil Kemendagri, Teguh Setyabudi, mengatakan penganut agama minoritas yang belum diakui secara resmi oleh negara “bisa mengisi kolom penghayat kepercayaan selama mereka mau dikategorikan sebagai Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
‘Pendirian tempat ibadah akan dipermudah’, Kemenag sebut izin pendirian ‘tidak perlu rekomendasi FKUB’ – Solusi atau picu konflik baru?
waria di yogyakarta, ‘Kami belum tahu mau ke mana nanti’ – Nasib para transpuan di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta sepeninggal Shinta Ratri. Sebagian pegiat keberagaman menyarankan salah-satu opsi penyelesaiannya, yaitu kolom agama “dihilangkan” dari KTP, walaupun hal itu juga tidak mudah, karena dikhawatirkan muncul stigma dianggap “tidak beragama”.
Itulah sebabnya, sebagian pegiat keberagaman meminta agar negara mengakui dan melindungi hak sipil sebagai warga negara seiring dengan berlakunya UU KUHP yang baru.
Dengan demikian penganut agama minoritas di Indonesia bisa mencantumkan agamanya di kartu identitas tanpa ada ketakutan atau didiskriminasi. Di Indonesia, selain terdapat enam agama resmi yang diakui negara, ada agama-agama minoritas yang disebut dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sebagai “non-recognize religion” namun dihormati keberadaannya seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme, Baha’i, dan Sikh.
Pengkategorian yang berbeda itu, kata Halili Hasan, menjadi problematik sebab pada akhirnya penganut agama minoritas tersebut “tidak mendapat pelayanan agama”.
Dan, menurut pimpinan LSM Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Thowik, di masa Orde Baru, negara “memutuskan” memasukkan mereka ke salah satu agama mayoritas di kolom agama Kartu Identitas Penduduk (KTP).
“Jadi negara yang memutuskan, bukan mereka. Kalau mereka sih maunya ya status agama di KTP sesuai dengan agama yang dianut,” ujar Thowik kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/07). Sejumlah penganut agama minoritas, seperti Yahudi dan Sikh, ingin perlakuan itu diakhiri karena hanya melahirkan diskriminasi dan ketakutan.
Seperti yang dialami Ezra Abraham, penganut Yahudi di Cirebon, Jawa Barat. Dia bercerita di kolom agama KTPnya, dia memilih mencantumkan agama Islam dan hal itu disebutnya “seperti membohongi diri sendiri”.
imbcnews.bbc ind/diolah