Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Laksanto Utomo menerima plakat dari plt Kepala Pusat Riset Hukum Brin, RR Emilia Yustiningrum,Phd
Jakarta-IMBCNews – Sejumlah kalangan menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat harus segera disahkan karena aturan tersebut merupakan salah satu cara yang sangat penting untuk menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat beragam suku di Indonesia.
Demikian terungkap pada Workshop Ekspedisi Masyarakat Hukum Adat Nusantara di Gedung Widya Graha lantai 1, BRIN Jakarta, Kamis (17/10/2024) yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Hukum bersama Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), untuk mendorong kajian komprehensif terkait masalah masyarakat adat di Indonesia.
Masyarakat adat memiliki karakter lokal dan tradisional yang mengandung nilai-nilai sakral, budaya, spiritual, dan peraturan bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya. Mereka seharusnya mempunyai hukum adat yang menjadi sebuah sistem hukum yang diakui secara resmi oleh negara. Tujuannya, untuk mengatur perilaku dalam kehidupan masyarakat berdasarkan adat-istiadat atau kebiasaan mereka.
Untuk melindungi dan memberikan pengakuan secara utuh hak-hak masyarakat adat, perlu disusun sebuah undang-undang. Saat ini, RUU masyarakat hukum adat sudah ada, namun tak kunjung disahkan.
Kepala Pusat Riset Hukum BRIN Emilia Yustiningrum mengatakan, BRIN bersama APHA perlu melakukan pemetaan lebih lanjut terkait persoalan kondisi masyarakat hukum adat di Indonesia. “Di samping itu, adanya kebutuhan ekspedisi mengenai masyarakat hukum adat Nusantara itu sendiri,” katanya.
Dengan melakukan ekspedisi masyarakat hukum adat Nusantara, ujar Emilia, akan dilakukan penyelidikan ilmiah dan penjelajahan di wilayah tertentu yang relatif belum banyak dikenal melalui sebuah kajian atau riset lapangan.
Tujuannya, untuk menjelajahi serta menemukan berbagai lokasi di Indonesia dalam upaya memperoleh informasi lebih banyak tentang masyarakat adat tertentu. Selain itu, untuk mengkaji struktur, sistem adat, dan sumber dayanya.
Emilia menuturkan, beberapa Kongres Masyarakat Adat menunjukkan adanya keprihatinan terhadap kondisi masyarakat adat di Indonesia. Muncul keresahan sosial dan ekonomi di kalangan masyarakat adat, seperti pengambilalihan tanah dan hutan yang dianggap milik mereka oleh pemerintah dan pihak pemodal.
“Masyarakat adat juga sulit mendapatkan pengakuan walaupun telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan agar hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan juga dapat dilindungi dan terpenuhi. Mereka sering dianggap sebagai kelompok rentan karena cara hidupnya yang berbeda dengan kelaziman modern,” tuturnya.
Sementara, hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis. Ini masih berupa norma-norma yang bersumber pada perasaan
Keadilan rakyat, peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat hukum atau sanksi.
Dalam perkembangan konsep ketatanegaraan formal, jelas Emilia, hukum adat sebagai bagian dari hukum positif tidak dianggap sebagai sumber hukum perundang-undangan secara formal. Eksistensi hukum adat dalam pengaturan perundang-undangan hanya merupakan pengakuan formal.
Banyak faktor yang memengaruhi perkembangan hukum adat, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam, agama, dan yang lainnya. Hal tersebut menyebabkan pemahaman masyarakat tentang hukum adat saat ini menjadi sangat bias.
“Hukum adat sebagai realitas hukum serta sebagai bahan hukum asli Indonesia seharusnya menjadi material bagi terbentuknya hukum nasional Indonesia,” tegas Emilia.
Di era dunia modern yang semakin kompleks ini, keberadaan masyarakat adat tak dapat dipisahkan dari situasi kontemporer yang melibatkan aspek-aspek non yuridis dan politis, seperti identitas keagamaan dan sistem ekonomi alternatif.
Workshop Ekspedisi Masyarakat Hukum Adat Nusantara akan membahas empat hal utama. Yaitu eksistensi masyarakat hukum adat yang meliputi, sejarah, struktur sosial dan kepemimpinan; isu-isu kritis dan tantangan masyarakat hukum adat; pengakuan dan perlindungan hak-hak adat; serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat adat.
Beberapa pakar hukum adat nasional akan dihadirkan, yaitu Laksanto Utomo dari Universitas Bhayangkara yang juga Ketua Umum APHA Indonesia; Rina Yulianti dari Universitas Trunojoyo yang juga Sekretaris Jenderal APHA Indonesia; Ismail Rumadan selaku Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Hukum BRIN; serta pakar hukum nasional Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia. (*)