,IMBCNEWS | Jakarta, Beberapa pihak sedang mendorong sistem pemilu Indonesia kembali ke sistem coblos partai, yang tidak mencantumkan nama calon legislatif. Usulan menggelar sistem pemilu proporsional tertutup atau sistem coblos partai akan mengurangi ‘esensi demokrasi’ dan dikhawatirkan akan membuat Indonesia perlahan-lahan kembali ke zaman Orde Baru, atau menuju ke arah kanibalisme partai.
Namun, PDI-P, selaku partai yang mendorong sistem itu, mengatakan saat ini muncul “sistem individual liberal” sehingga sistem proporsional tertutup dianggap perlu.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, dilansir BBC Indonesia, Kamis mengatakan, jika pemohonan terhadap sistem pemilu prosorsional yang kini sedang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan, Indonesia tidak lagi menerapkan “demokrasi yang sesungguhnya”.
Dan lama-lama akan membawa “kita kembali ke masa Orde Baru”, kata Ni’matul. “Jadi misalnya, sekali kuncinya dicabut, tafsir MK sebelumnya dicabut, pasti akan muncul tuntutan untuk menghemat biaya Pilkada, enggak usah Pilkada langsung, dipilih oleh DPRD saja,” katanya.
“[Pemilihan] Presidennya juga begitu, kalau Pilpres langsung itu biayanya besar sekali dan sekarang kembali ke MPR saja lagi kayak dulu dipilih oleh MPR sebagai mandataris.
“Kalau menurut saya, itu bisa ke sana nantinya,” tambahnya. Sistem proporsional tertutup pernah digunakan Indonesia pada masa Orde Baru.
Namun, pada 2008 lalu, MK mengabulkan tuntutan pemohon tentang Pengujian UU 10 Tahun 10 Tahun 2008.
UU ini mengatur tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945.
Dan, putusan MK NOMOR 22-24/PUU-VI/2008 itulah yang membawa Indonesiaa kepada sistem proporsional terbuka, yang sampai saat ini masih diterapkan.
Jika permohonan sistem proporsional tertutup itu dikabulkan, Ni’matul menyebut “MK tidak konsisten” dan mempertanyakan kedudukannya sebagai “penjaga konstitusi” yang mengutamakan kedaulatan rakyat.
“Orang akan memberi stigma, MK, kalau begitu menjadi alat legitimasi dari keinginan partai-partai, bukan penjaga konstitusi atau penafsir konstitusi karena dia menafsirkan apa keinginan partai politik itu.
“Lantas bagaimana caranya MK kemudian menafsirkan kedaulatan di tangan rakyat [sesuai Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 2]”, ujar Ni’matul. ‘Kanibalisme politik’ – Apa alasan di balik dukungan terhadap ‘sistem pemilu proporsional tertutup’?
Polemik soal sistem pemilu proporsional tertutup ini berawal dari permohonan pengujian beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam surat permohonan yang diterima MK pada 14 November 2022 lalu, para pemohon menilai sistem proporsional terbuka dapat “mengoyak rasa persatuan dan kesatuan di masyarakat” karena menimbulkan “polarisasi”.
Lebih jauh lagi, para pemohon yang menyebut dirinya sebagai “kader partai politik” itu mengatakan sistem proporsional terbuka membuat hak mereka dilanggar. Alasannya, sistem itu “menimbulkan persaingan yang tidak sehat, yang menitikberatkan kepada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum sehingga kader yang memiliki pengalaman berpartai dan berkualitas kalah bersaing…”
Sementara itu, Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat mengatakan partainya juga mendorong penerapan sistem pemilu proporsional tertutup itu, meski dia mengatakan “tidak tahu” pihak-pihak yang mengajukan pemohonan itu ke MK dan tidak mengonfirmasi salah satu pemohon adalah anggota PDI-P.
Sebab, kata dia, saat ini “pemilu kita sudah mengarah kepada sistem individual liberal” yang menyebabkan “kanibalisme politik”, di mana terjadi perselisihan antara para calon legistalif (caleg) di satu partai.
IMBCnews/diolah/**