Oleh Milano Lubis, SH, MH Praktisi Hukum dan Peminat Pariwisata
IMBCEWS Jakarta – Setelah banyak negara dihantam penyakit virus covid-19, semua negara yang mengandalkan pemasukan dari sektor pariwisata mengalami penurunan. Indonesia sendiri mengalami penurunan yang cukup tajam baik dari segi pemasukan untuk Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penurunan dari kunjungan wisata dari manca negara.
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dalam laporan Tourism Trends and Policies 2022 yang dikutip Situs Departemen Keuangan menyebutkan, tahun 2019 sektor pariwisata menyumbang 5,0% dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Namun, hantaman pandemi Covid-19 di 2020 mengakibatkan turun kontribusinya terhadap PDB sebesar 56% yaitu menjadi hanya 2,2% dari total ekonomi. Namun setelah pandemi usai, sektor pariwisata saat ini tidak lagi menggeliat tetapi tumbuh dengan baik terlihat dari data kunjungan wisata ke berbagai wilayah utamanya di Bali.
Bali tidak hanya dapat di kenal dalam peta dunia. Tetapi para wisata asing, utamanya wisata pemula, lebih sering didengar wisata Bali ketimbang ibu kota negara, Indonesia. Mengapa ? Bali sudah diakui sebagai salah satu tempat distinasi wisata terbaik dunia. Traveler Internasional merelase, (Agustyananto:2020) Belakangan ini majalah Travel + Leisure merilis daftar penghargaan “The World’s Best Awards 2020”, dengan berbagai kategori dari pulau terbaik, hotel terbaik, hingga kota terbaik.
Bali berhasil masuk dalam beberapa penghargaan, menjadikan Bali sebagai salah satu tempat wisata terbaik dunia versi traveler internasional. Skor yang diperolihnya mencapai nilai 88,14, dan berada di urutan ke-17 dari 25 pulau. Hal ini juga menjadikan Bali sebagai salah satu dari 10 pulau terbaik di Asia, dengan berada di peringkat ke-6 setelah Palawan, Sri Lanka, Koh Lanta, Langkawi, dan Boracay.
Bahkan Ubud, sebuah kabupaten di Bali juga mendapatkan penghargaan sebagai salah satu dari 25 Kota Terbaik Dunia. Untuk kategori ini, Ubud berada di peringkat ke-9 dengan sekor 88.16 poin, mengalahkan Istanbul, Bangkok, Roma, Tokyo, Singapura, hingga Sevilla. Oleh karenanya, wajar jika wisata Bali jauh lebih dikenal masyarakat internasional ketimbang Indonesia sebagai ibu kota.
Oleh karenanya, seyogianya wisata Bali yang sudah cukup punya nama itu tidak perlu dijual secara murahan. Murahan berbeda dengan kata murah. “Murah” lebih mengarah pada penentuan harga yang diturunkan secara proporsional, sementara “murahan” lebih kepada ketidak mutunya suatu barang atau obral karena ketidak percayaan dirinya sendiri.
Dengan demikian, wisata nasional tidak perlu dijual secara murahan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkesan diobral dan merugikan banyak pihak utamanya masyarakat sekitar area wisata.
Kebijakan HGU yang Merugikan
Dalam konstitusi Indonesia, terdapat Pasal 33 UUD RI dimana pada ayat (3) disebutkan, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pasal 33 UU 1945 tersebut dalam sejarahnya menjadi perhatian oleh Wakil Presiden Moh. Hatta karena ia mengerti benar soal tatanan ekonomi baik yang berbasis sosialis komunis maupun sistem kapitalis yang berkembang di belahan Eropa barat kala itu.
Oleh karena itu sebagai seorang pejuang dan sekaligus proklamator mewanti-wanti agar bumi dan air dan kekayaan akam di Indonesia tidak boleh di “kangkangi” atau hanya dinikmati oleh pemilik modal belaka dan merugikan masyarakat Indonesia yang memiliki kedaulatannya.
Sayangnya, dalam reformasi 1945 terjadi amandemen yang menambakan “Ketentuan lebih lanjut yang mengabaikan Pasal ini diatur oleh UU.”
Ayat (5) dalam UUD RI itulah yang menjadi landasan atau karpet merah untuk membuat UU terkait dengan pengaturan hak pengausaan tanah, Hak Guna Usaha (HGU) hingga 90 tahun hingga terkesan cukup merugikan warga setempat utamanya Bali yang jumlah wilayahnya tidak dapat bertambah secara masif tetapi justru terus menyusut akibat adanya perkembangan investasi asing berupa pendirian hotel dan resort termasuk usaha busisnes lainnya yang kenikmatannya lebih menguntungkan kepada pemilik modal.
Hak Guna Usaha 90 Tahun (Gunawan 2019) yang dilansir harian nasional menyoroti HGU 90 tahun bukan hanya menyimpangi Pasal 33 UUD RI tetapi juga melawan UU No 5 Tahun 1960 tentang UU Pertanahan yang kala itu masih disusun oleh era Presiden Soekarno.
Melalui Pasal 22 (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Hak atas tanah untuk penanaman modal dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa HGU dapat diberikan dengan jangka waktu 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun.
Artinya tanah yang telah dikuasai oleh investor asing dapat dinikmati minimal dua (2) generasi pemilik HGU. Kemudian apa yang didapat oleh masyarakat sekitar? Oleh karena nya wajar jika Pasal itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, dan mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan HGU berlaku ketentuan UUPA 1960 dan PP No 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan hak pakai.
Berikut saya sarikan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 atas Uji Materi UU Penanaman Modal Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (2). Pasal 22 Ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “berupa:
a. HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun; b. HGB dapat diberikan jumlah 80 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbarui selama 30 tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun”;
Pasal 22 Ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus”;
Pasal 22 Ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata “sekaligus di muka”; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK berpendapat tidak menemukan adanya korelasi langsung antara fasilitas atau insentif berupa pemberian hak-hak atas tanah (HGU) dengan peningkatan iklim penanaman modal apabila persoalan tata kelola (good governance), kepastian hukum dan keamanan berusaha, serta persoalan ketenagakerjaan tidak mengalami perbaikan.
Itu artinya, perbuatan UU dan peraturan lainnya terkiat hak penguasan tanah milik pemilik modal tidak didasarkan atas empati masyarakat sekitar dan kelangsungan hidup warga sebagai oarng yang memiliki daukal lahan aau daulat kekayaan buminya. Apa yang terjadi pada saat ini, banyak tanah di Bali disewakan kepada pemilik modal, dan selanjutnya pemilik modal kembali menyewakan kepada orang-orang asing, sehingga di Bali penuh sesak warga asing yang menempati rumahnya dengan murah dan tidak memberikan keuntungan apa-apa kepada masyarakat Bali secara luas, termasuk mengusir dari norma dan pranata masyarakat Bali. Inilah yang saya sebut Pariwisata Bali jangan dijual secara murahan.
imbcnews/diolah
Penulis Praktisi hukum, , tinggal di Jakarta.