Oleh Saykhan Alatas , Mahasiswa Magister Hukum Iblam Jakarta
IMBCNEWS Jakarta, Penggusuran kampung tua di Pulau Rampang Kota Batam Riau merupakan cerminan dari masalah yang lebih luas di Indonesia, yakni konflik agraria dengan “perampasan tanah”. Kampung-kampung tua di pulau ini telah ada selama bertahun-tahun , dengan hak-hak tradisional atas tanah yang kadang-kadang tidak didokumentasikan secara resmi.
Dari semua lingkaran konflik yang mungkin terjadi, kasus Rempang dengan jelas menunjukkan adanya konflik relasi sebagai dampak komunikasi satu arah tanpa melibatkan masyarakat terkait rencana proyek dan relokasi.
Rempang Eco City (REC) yang digadang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) itu menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Tentu itu semua membutuhkan ketersediaan tanah, termasuk yang dimiliki warga masyarakat kampung tua, dengan konsekuensi harus merelokasi 5.000-10.000 warga ke Pulau Galang. Pada dasarnya masyarakat setempat tidak keberatan dengan pembangunan tersebut, namun mereka menolak direlokasi.
Ini menjadi sinyal petunjuk komunikasi dua arah yang seharusnya terjadi belum maksimal menghasilkan kesepakatan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat. Walaupun Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang merupakan otorita Batam menyatakan telah melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat, termasuk tentang relokasi, sejak April 2023. Namun, dalam kenyataannya, warga tampak tidak siap dan dengan sigap menolak tindakan pengosongan tersebut.
Selain itu PSN untuk REC ini tergolong supercepat, dari beberapa informasi yang beredar bahwa landasan hukum terkait hal tersebut baru disahkan pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Mentri Ekonomi Bidang Perekonomian No 7/2023, tetapi lahan harus sudah dikosongkan akhir September 2023, tanpa memberikan peluang masyarakat setempat untuk berfikir dan menetukan sikap. Tentu ini semua menimbulkan asumsi negatif dengan pemakasaan PSN yang dapat dikatakan menciderai nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Hal-hal kontradiktif ini menuntut hukum agar menjadi solusi bagi masalah yang telah menimbulkan gesekan horizontal antara kepentingan pemerintah dan korporasi dengan masyarakat yang mempertahan hak ruang hidupnya.
Pemerintah menyebutkan, REC yang disiapkan melalui kerja sama BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) dengan nilai investasi fantastis yaitu Rp 381 triliun, yang dijadwalkan akan berlangsung sampai 2080 dengan potesi penyerapan 306.000 tenaga kerja. Di dalam REC, PT. Xinyi bekerja sama dengan PT. MEG akan membangun pabrik kaca dan solar panel dengan nilai investasi Rp 174 triliun yang juga menyerap ribuan tenaga kerja. Tetapi bagi masyarakat setempat nilai tersebut tidak lebih dari hanya bilangan angka yang abstark, kenyataannya adalah bahwa tanah tempat mereka bertahan hidup dipaksakan untuk mereka tinggalkan, dengan dalih penjelasan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN pada rapat kerja dengan Komisi II DPR, 12 September 2023, dengan diperoleh data bahwa 17.000 hektar tanah di Pulau Rempang merupakan kawasan hutan dan bahwa terdapat pengajuan permohonan hak pengelolaan atas nama BP Batam pada areal penggunaan lain (APL) dengan luas 600 hektar.
Penjelasan terkait angka 17.000 hektar tersebut menimbulkan banyak pertanyaan. Seperti sejak kapan 17.000 hektar tanah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan? apakah angka itu termasuk didalmnya 16 kampung tua?. Tentu pertanyaan- pertanyaan ini harus dijawab oleh yang bersangkutan dengan konprehensif, mengingat bahwa masyarakat setempat telah menguasi fisik lahan tersebut jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu sejak tahun 1834. Kemudian secara formal melalui Surat Keputusan No 105/HR/III/2004 yang diterbitkan Wali Kota Batam tanggal 23 Maret 2004 yang antara lain, menyebutkan bahwa kampung tua tidak direkomendasikan menjadi bagian dari HPL Otorita Batam.
Hal lain yang perlu digaris bawahi adalah pada 20 Desember 2019, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil membagikan 1.406 sertifikat di tiga lokasi kampung tua Kota Batam dan berjanji untuk menyelesaikan sertifikasi 34 kampung tua lain di Batam. Maka secara tidak langsung, pengakuan terhadap tanah warga kampung tua di Pulau Batam berlaku juga bagi warga kampung tua di lokasi lain. Lebih tegas terkait penguasaan tanah secara fisik oleh masyarakat setempat membuat HPL yang dikeluarkan menjadi cacat administratif karena tidak memenuhi syarat penerbitan HPL (clean & clear), kemudian dengan ketentuan sesuai Pasal 24 Ayat (2) PP No 24/1997 dengan dasar penguasaan fisik maka seharusnya tanah tersebut dapat disertifikatkan.
Jika dikaji melalui viktimologi, jelas masyarakat setempat merupakan korban dari tragedi konflik agraria dan kepentingan. Arif Gosita (Masalah Korban Kejahatan) dengan tegas didefinisikan bahwa korban bukan hanya sebab tindakan pidana, namun individu atau kelompok yang dirugikan secara jasmani ataupun rohani oleh kebijakan pemerintah juga dapat dikategorikan sebagai korban.
Dalam konteks HAM, hak bertempat tinggal yang dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (1) telah dirampas atas dasar kepentingan. Kemudian hal senada juga tertuang dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Bahkan poin pertama dalam Commission on Human Rights Resolution 1993/77 menerangkan, “Affirms that the practice of forced eviction constitutes a gross violation of human rights, in particular the right to adequate housing“, maka tidak dapat ditafsirkan berbeda bahwa PSN yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat kampung tua Pulau Rempang, patut diduga sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM berat.
Tentu kita tidak ingin tragedi ini terus berlanjut, dimana hal-hal semacam itu sangat bertentangan dengan tujuan Negara Republik Indonesia, seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
***